Spiritualisasi ilmu politik revitalisasi demokrasi Pancasila

Main Author: Fanani, Muhyar
Format: Book PeerReviewed
Bahasa: eng
Terbitan: HAJA Mandiri , 2020
Subjects:
Online Access: http://eprints.walisongo.ac.id/11678/1/Spiritualisasi.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/11678/
Daftar Isi:
  • Buku ini memberikan gambaran tentang model aplikasi paradigma kesatuan ilmu pengetahuan dalam ilmu politik sepanjang sejarah pemikiran politik Islam. Kajian ini menemukan bahwa spiritualisasi ilmu politik merupakan fenomena terpenting dalam sejarah pemikiran politik Islam. Spiritualisasi ilmu politik diwakili oleh dua model pemikiran, yakni tradisional-ekslusif dan moderat-inklusif. Model pertama dimotori oleh Rasyid Ridha, Sayyid Qutub, dan Abu al-A’la al-Maududi yang sesungguhnya masih utopis dan sangat ideal. Model kedua dimotori oleh Muhammad Husein Haikal dan Muhammad Abduh. Munawir Sjadzali menyebut model kedua ini cukup realistis dengan tantangan modernitas. Mengapa model pertama menjadi uto- pis? Jawabannya tiada lain adalah adanya upaya merubah epistemologi ilmu politik dari rintisan al-Farabi. Para pemikir model pertama ingin menjadikan bayân (teks) sebagai epistemologi menggantikan burhân (akal dan indera). Sementara model kedua tetap menjadikan burhân sebagai epistemologi ilmu politik. Spiritualisasi ilmu politik tetap menjadikan burhân sebagai landasan epistemologi mengingat dunia politik adalah dunia burhân bukan dunia bayân. Dunia politik adalah dunia yang berbasis pada bukti (induksi) bukan berbasis pada deduksi. Spiritualisasi ilmu politik sesungguhnya adalah menyuntikkan nilai etika dalam ilmu politik. Hal ini dilakukan dengan cara menjaga keterkaitan antara ilmu politik dengan filsafat politik. Ilmu politik berbicara tentang apa yang terjadi dalam politik. Sementara filsafat politik berbicara tentang apa yang seharusnya dalam politik. Maka spiritualisasi ilmu politik adalah upaya untuk mengurangi gap antara apa yang terjadi dengan apa yang seharusnya dalam politik. Dalam de- mokrasi, misalnya, sebuah bangsa tidak boleh terjebak pada apa yang terjadi, tapi harus terus berusaha menjaga kesinambungan antara apa yang terjadi dengan apa yang seharusnya. Demokrasi Pancasila merupakan contoh konkret spiritualisasi ilmu politik dalam demokrasi. Ia juga merupakan contoh nyata spiritualisasi teori politik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil negosiasi kreatif antara demokrasi dengan teo-demokrasi. Bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, menempatkan konsep teo-demokrasi sebagai konsep etis dalam ranah filsafat politik bukan ilmu politik merupakan cara berpikir yang tepat. Ini selaras dengan pandangan Maddox bahwa Islam dan Kristen sangat potensial untuk menumbuhkan demokrasi sepanjang terdapat kemauan dari para pemeluknya untuk melakukan tafsir baru atas kitab suci masing-masing. Menjadikan teodemokrasi sebagai konsep etis akan mempermudah aplikasi prinsip/nilai teodemokrasi dalam dunia riil politik. Prinsip-prinsip teo-demokrasi bisa dimasukkan dalam sistem politik apapun termasuk monarkhi dan demokrasi. Seorang, raja, presiden, perdana menteri, harus dianggap menjalankan teodemokrasi 1 jika ia menjalankan nilai-nilai etis dalam dunia politik. Nilai-nilai etis tersebut merupakan kristalisasi dari prinsip teodemokrasi yang diadaptasikan dengan dunia politik yang riil. Demokrasi Pancasila telah dijiwai oleh nilai etis teodemokrasi itu. Nilai-nilai etis teodemokrasi perlu menjadi jiwa dari ilmu politik. Proses inilah yang dinamakan dengan spiritualisasi ilmu politik. Terdapat tujuh buah nilai etis yang penting dalam teodemokrasi. Nilai-nilai etis tersebut adalah: 1. Keyakinan bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan dan Tuhan akan memberikannya pada orang yang beriman dan beramal salih. 2. Keyakinan bahwa kekuasaan dari Tuhan itu belum memiliki kekuatan formal kecuali bila sudah mendapatkan dukungan dari rakyat dalam bentuk bai`at. 3. Pemahaman bahwa kekuasaan yang sudah mendapatkan kekuatan formal harus dijalankan dengan berpedoman pada hukum Allah (al-Qur`an dan Hadis) sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. 4. Keyakinan bahwa berdasarkan hukum Allah, penguasa bertugas memakmurkan rakyatnya baik di dunia ini maupun di akherat kelak. 5. Keyakinan bahwa cara mencapai dua macam kemakmuran itu adalah dengan menjalankan kekuasaannya berdasarkan hukum-hukum Allah (al-Qur`an dan Hadis) secara arif dan bijaksana. 6. Keyakinan bahwa secara garis besar hukum-hukum Allah itu mengharuskan para pemegang kekuasaan untuk menjunjung tinggi asas amanah, asas keadilan (keselarasan), dan asas musyawarah dengan referensi al-Qur`an dan Sunnah. 7. Keyakinan bahwa para rakyat diwajibkan menaati penguasanya selama penguasa memegang prinsip-prinsip etis tersebut.