Aspek fiqih perempuan dalam serat centhini tinjauan feminisme

Main Author: Mubarok, Zaki
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2009
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11351/1/2102181_Skripsi%20Lengkap.PDF
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/11351/
Daftar Isi:
  • Beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenai tinjauan feminisme mengenai aspek fiqih yang terkandung dalam Serat Centhini yaitu 1. Dalam serat centhini ada beberapa bab yang menjelaskan tentang seksualitas yang diformulasikan dengan ajaran Islam-alam Jawa. Seperti Pupuh Dudukwuluh (187: 19-32), Pupuh Lonthang (188:1-44), Pupuh Dhandhanggula (189:1-39), Pupuh Kinanthi (190: 1-50), Pupuh Asmaradana (191:1-35), hingga Pupuh Salisir (192:1-42), serta Pupuh Mijil (193: 1-20) pertama-tama menekankan bahwa hubungan seks mempunyai tujuan yang mulia. Di mana seks menjadi wahana prokreasi, yaitu menanam benih (wiji) untuk mendapatkan keturunan yang baik. Kedua, seks sebagai sarana pemuasan hedonistis (penikmatan hidup) (sex as a recreational). Dalam bab tersebut terlihat bagaimana seks sebagai wahana yang dipersiapkan untuk menuju dan mematuhi perintah Tuhan (syari’at). Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam QS. Al-Baqoroh: 223. Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengatakan bahwa manfaat dari hubungan seksual adalah mencapai kenikmatan dan meneruskan keturunan. 2. Ester Boserup, sebagaimana dikutip dalam buku Kuasa Wanita Jawa, menyatakan bahwa wanita melayu (termasuk perempuan jawa) pada dasarnya merupakan manusia yang merdeka. Aktualisasi dalam dunia public sangat nyata. Inilah yang disebut sebagai gejala matrifokalitas. Perempuan mendapat ruang ekspresi yang kurang lebih sama. Namun dalam perjalanannya, perempuan Jawa (yang tidak dalam cengkeraman pangeran) mendapat tekanan dari keraton untuk menjadi perempuan yang selalu patuh terhadap laki-laki. Ini terbukti sebagaimana dikatakan Denys Lombard bahwa Serat Centhini adalah usaha untuk merangkul dunia luar keraton (termasuk aktualisasi perempuannya) untuk tunduk pada sistem budaya keraton yang mana terbangun atas dunia Islam-Jawa.3. Feminis religius yang mencerminkan sejumlah concern yang secara tipikal didefinisikan sebagai postmodernis, memaksakan kesadaran akan perlunya kajian yang dikondisikan secara social dan historis, kritisisme diri, dan perlawanan terhadap dominsasi teori-teori besar atau metanaratif. Sebagai hasilnya, pendekatan feminis telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam masing-masing konteks. Dengan demikian, konstruksi fiqih perempuan dalam serat centhini jika dianalisis dengan feminisme menemui kendala atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki feminisme dalam hal kesetaraan dan keadilan pada kehidupan keraton. Karena raja atau pangeran selalu menurunkan watak feodalistik dalam aktualisasi fiqih perempuan dalam serat centhini. Sedangkan dalam masyarakat luar keraton lebih memenuhi standar kemanusiaan sebagaimana yang dikehendaki dalam pendekatan feminisme.