Implementasi hukum menikahi wanita dalam masa ‘iddah studi komparatif pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik
Main Author: | Nadhifa, Uma Luthfian |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2019
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/10716/1/132111146.pdf https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/10716/ |
Daftar Isi:
- Idah menurut ulama' fiqih disebabkan karena faktor perceraian dan kematian suami. Dari kedua faktor tersebut akan mengakibatkan masa tunggu dengan hitungan suci, bulan atau kelahiran. Alasan disyariatkannya iddah adalah untuk mengetahui keberadaan rahim seorang bekas istri kosong atau berisi janin. Dalam Islam Iddah dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya, bagi perempuan yang dicerai ba’da dukhul maka iddah nya tiga kali suci atau tiga kali haid,ketentuaniddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, dan bagi wanita dalam keadaan hamil maka menunggu sampai melahirkan. Akan tetapi persoalan tentang implementasi menikahi wanita pada masa iddah masih menjadi perdebatan, terkait dengan wajib atau tidaknya menjalani iddah,dan boleh atau tidak nya wanita tersebut dinikah kembali. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis tertarik membahas pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang implementasi hukum menikahi wanita dalam masa iddah. Tidak hanya memaparkan pendapat dari kedua Imam tersebut, tetapi penulis juga membahas bagaimana relevansi implementasi menikahi wanita dalam masa iddah terhadap hukum Islam di Indonesia. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik dokumentasi. Setelah mendapatkan data yang diperlukan, maka data tersebut dianalisis dengan metode analisis komparatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam qaul qadim menggunakan pendekatan berupa lafaz thuruqu al-lafzhiyah sedangkan Imam Syafii dalm qaul jadid menggunakan pendekatan ma’nawiyah, Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam qaul qadim mengawali metode istinbath dengan sumber yang sama yakni qaul ash-shahabah,karena tidak ada dalil al-quran yang menjelaskan secara rinci mengenai “Implementasi hukum menikahi wanita dalam masa iddah” secara langsung. Dan dapat disimpulkan bahwa Imam Syafii dalam qaul qadim menghukumi sama seperti gurunya yakni Imam Malik, naum Imam Syafii dalam qaul jadid juga mempunyai pendapat berbeda dalam menghukumi kasus “implementasi hukum menikahi wanita dalam masa iddah” metode istinbath yang digunakan dua imam tersebut tidaklah berbeda jauh, namun keduanya menghasilkan intrepertasi yang berbedaa. Hal ini juga dikarenakan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal yang menyebabkan perbedaan pendapat antara Imam Syafii dan Imam Malik dalam Implementasi hukum menikahi wanita dalam masa iddah.