Implementasi pendapat Imam Syafi’i dalam sistem hukum positif di Indonesia studi kasus kesaksian perempuan dalam perkara perceraian

Main Author: Fahma, Auliya
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/10702/1/1402016094.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/10702/
Daftar Isi:
  • Saksi adalah orang yang memberikan keterangan tentang apa yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan berdasarkan berita yang didasari kebenarannya oleh hati Yang mana terdapat perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Hukum Positif di Indonesia. Persoalan kesaksian perempuan, dimana nilai kesaksian perempuan sendiri separoh kesaksian laki-laki sebagaimana yang termuat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 282. Berawal dari hal ini, maka menimbulkan pertanyaan yaitu; 1.) Bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang kesaksian perempuan dalam perceraian? 2.)Bagaimana implementasi pendapat Imam Syafi’i dalam sistem penyelesaian perkara perceraian dengan kesaksian perempuan dalam hukum positif di Indonesia? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berupa kajian kepustakaan (library research) tentang kesaksian perempuan dalam perceraian. Untuk pengumpulan data menggunakan metode studi dokumen putusan sebagai alat pengumpul data. Sedangkan dalam menganalisis data, menggunakan teknik deskriptif kualitatif serta teknik perbandingan hukum. Ada dua kesimpulan dari penelitian ini, yaitu; 1.) Imam Syafi’i berpendapat bahwa kesaksian perempuan dapat diterima pada dua tempat, yaitu; a.) Kasus dimana seorang laki-laki memiliki hak berupa harta, b.) Kasus dimana laki-laki tidak boleh/tidak dapat melihat, seperti melihat aurat kaum perempuan. Sedangkan kesaksian perempuan dalam perkara perceraian, Imam Syafi’i tidak memperbolehkan. 2.) Peneliti melihat implementasi pendapat Imam Syafi’I dalam peradilan hukum Islam di Indonesia dalam kasus perceraian dengan saksi perempuan; a.) Tidak relevan dengan konteks sekarang, karena di zaman Imam Syafi’i perempuan hanya dirumah saja (domestik), berbeda dengan konteks sekarang ini dimana perempuan banyak berperan penting di luar rumah atau di masyarakat, oleh karena itu diperlukan ijtihad baru seiring dengan perkembangan zaman. Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi’i, merupakan bukti adanya perbedaan konteks ketika beliau di Baghdad dan Mesir. b.) Hukum di Indonesia mayoritas menggunakan Madzhab Imam Syafi’i tetapi dalam kasus saksi tidak diharuskan laki-laki dalam menyaksikan melainkan boleh siapa saja asal menyaksikan perkara tersebut termasuk perempuan. c.)Kebanyakan hakim yang menjalankan peradilan sesuai Hukum Positif di Indonesia namun terdapat hakim yang masih menggunakan madzhab Imam Syafi’i dalam persaksian harus laki-laki.