Analisis pendapat Ibn Ābidīn dan Ibn Qudāmah tentang keabsahan pengucapan ijab oleh pihak pria dan kabul oleh pihak perempuan dalam pernikahan

Main Author: Sapruddin, Ahmad
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/10231/1/skripsi.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/10231/
Daftar Isi:
  • Dalam konteks pernikahan, ijab difahami sebagai ucapan wali atau yang mewakili untuk menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad. Sedangkan kabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan dan ridha-nya. Sehubungan dengan hal ini, bolehkah ijab diucapkan oleh calon pria dan kabulnya diucapkan oleh calon perempuan ? Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Sumber data diperoleh dari data primer dan sekunder. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan teknik dokumentasi. Setelah mendapatkan data yang diperlukan, maka data tersebut dianalisis dengan metode analisis perbandingan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Ibn Ābidīn dan Ibn Qudāmah disebabkan oleh beberapa hal; Pertama, dasar hukum yang dipergunakannya, Ibn Ābidīn menggunakan ra’yu (seolah-olah disamakan dengan jual beli), Ibn Qudāmah berdasarkan konsep kiyas; Kedua, perbedaan menentukan illat-nya. Ibn Ābidīn illat-nya ialah kerelaan (ridha) dan persetujuan diantara mempelai berdua. Sedangkan Ibn Qudāmah menentukan illat-nya dengan pernyataan verbal (lafal ijab yang diucapkan wali dan kabul oleh mempelai pria), ketiga, nalar atau cara pandang yang berbeda. Keempat, konsistensinya mereka dalam bermażhab. Kemudian, jika pendapat mereka dilihat dari sisi persamaannya ialah; pertama sama-sama tidak memperbolehkan kabul mendahului dari ijabnya; kedua, lafal ijab dan kabul keduanya sama-sama mempergunakan lafal inkāh dan tazwīj, hanya saja Ibn Ābidīn memperluas penggunaan lafal-lafal yang dipergunakan dalam ijab dan kabul; ketiga, mereka sama-sama mengatakan, bahwa ijab dan kabul bagian dari rukun nikah; keempat sama-sama memiliki dasar hukum atas perbedaan pendapatnya; dan kelima, sama-sama berpendapat bahwa hak suami ialah hak memiliki sebatas mempergunakannya, artinya tidak boleh menjual, menyewakan bahkan menghibahkannya. Sedangkan perbedaan pendapatnya ialah; pertama, terkait pemaknaan akad nikah secara bahasa, Ibn Ābidīn secara hakiki, nikah bermakna “bersetubuh”, majazi bermakna “akad”. Sementara Ibn Qudāmah makna akad nikah secara hakiki ialah “akad” dan “bersetububuh” secara majazi; kedua, perbedaan dari segi pengucap, versi Ibn Qudāmah pengucap ijab hanya wali dan kabul hanya mempelai pria atau yang mewakilinya. Sedangkan versi Ibn Ābidīn, ijab maupun kabulnya bebas diucapkan oleh siapapun, baik mempelai pria, wanita, wali maupun yang mewakilinya; ketiga, dasar hukum, Ibn Ābidīn mendasarkannya dengan dalil ra’yu sementara Ibn Qudāmah dengan memakai konsep kiyas; keempat, lafal-lafal yang dipergunakan oleh Ibn Ābidīn tidak hanya sebatas lafal inkāḥ dan tazwīj semata. Sedangkan versi Ibn Qudāmah hanya terbatas dengan lafal inkāḥ dan tazwīj saja; dan kelima, pemaknaan ijab dan kabul secara terminologi.