Pernikahan yang dilakukan setelah menjalani sanksi adat menurut hukum Islam di Desa Mapur Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Belitung

Main Author: Abdillah, Dwinando
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://digilib.uinsby.ac.id/30603/1/Dwinando%20Abdillah_C01214004.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/30603/
Daftar Isi:
  • Skripsi ini berjudul “Pernikahan yang dilakukan setelah Menjalani Sanksi Adat Menurut Hukum islam didesa Mapur Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Belitung. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua permasalahan, Bagaimana pelaksanaan pernikahan yang dilakukan setelah menjalani Sanksi Adat didesa Mapur Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Belitung, Bagaimana Perspektif hukum Islam pelaksanaan pernikahan yang dilakukan setelah menjalani sanksi Adat didesa Mapur Kecamatan Riau SIlip Kabupaten Bangka Belitung. Jenis penelitian adalah penelitian lapangan (field research) yang dilaksanakan didesa Mapur Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Belitung. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara. Selanjutnya analisis data menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan menganalisis seluruh data yang sudah terkumpul kemudian dipilah-pilah dan dikelompokkan sesuai dengan permasalahan masing-masing untuk mengetahui hukum dari pelaksanaan pernikahan yang dilakukan setelah menjalani Sanksi Adat sesuai dengan Hukum Islam. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tradisi pelaksanaan pernikahan bagi pelaku zina di Desa Mapur dilakukan setelah menjalani sanksi adat yaitu mengelilingi desa tanpa memakai busana apapun dan akan di damping dari kedua orang tua dari kedua belah pihak, kemudian kedua mempelai baru bisa melakukan pernikahan dikediaman kepala adat dan dinikahkan olehnya sesuai adat yang berlaku.Dari pandangan hukum Islam pernikahan yang dilakukan setelah melakukan sanksi adat tersebut tidaklah sah biarpun dalam pernikahan adat tersebut adanya mempelai pria, mempelai perempuan dan saksi tetapi dalam islam syarat dan rukun pernikahannya belum terpenuhi seutuhnya karena kuranya syarat sȟiġhât (ijab-kabul). Sejalan dengan kesimpulan maka disarankan bagi kepala suku beserta warga desa untuk menjaga hukum adat yang belaku dan ketentraman desa. Setelah itu pernikahan harusnya harus mengikuti aturan yang sudah di atur dalam Hukum Islam yakni harus adanya sȟiġhât (ijab-kabul), kedua calon mempelai, wali dan saksi.