Pemimpin Politik Lokal: studi perspektif aktivis HMI Cabang Surabaya dan KAMMI Daerah Surabaya terhadap kriteria calon Walikota dan wakil Walikota Surabaya

Main Author: Wahyudi Z.P, Puput
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2010
Subjects:
Online Access: http://digilib.uinsby.ac.id/23909/1/Puput%20Wahyudi%20Z.P_E34206001.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/23909/
http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/23909
Daftar Isi:
  • Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah menjawab: bagaimana pandangan Aktivis HMI Cabang Surabaya dan KAMMI Daerah Surabaya dalam memandang kriteria calon Walikota clan Wakil Walikota Surabaya periode 2010-2015. Untuk mengidentifikasi pennasalahan tersebut, peneliti ini menggunakan penelitian lapangan (field Research). Dimana teknik pengumpu1an data mengunakan metode interview, Observasi dan metode dokumentasi. Setelah terkumpul, baik dari sumber data primer maupun data sekunder, maka langkah selanjutnya menganalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan komparatif. Metode ini digunakan untulc menganalisis dan mengambarkan dan mengkomparasikan bagaimana pandangan aktivis HMI dan KAMMI daerah Surabaya dalam memandang kepemimpinan politik Surabaya. Adapun dari basil penelitian ini adalah persamaan pandangan antara aktivis HMI Cabang Surabaya clan KAMMI Daerah Surabaya dalam memandang kriteria Walikota dan Cawalikota terletak pada cara pandang mereka dalam memahami pengertian dan tugas dari pemimpin khususnya Walikota dan Wakil Walikota yakni sebagai pelayan publik. Untuk menjadi pemimpin yang bisa melayani, maka calon Walikota dan Wakil Walikota Surabaya periode 2010-2015 harus memiliki kapasitas, kapabilitas dan integritas dalam memimpin bukan berdasar atas manipulasi kepemimpinan, sehingga kepemimpinan yang muncul adalah model kepemimpinan transformasional Sedangkan perbedaan pandangan antara aktivis HMI dan KAMMI terletak pada masalah gender, aktivis KAMMI lebih berdasar kepemimpinan patriarki, sedang aktivis HMI tidak mempermasalahkan kepemimpin berbasis patriarki atau matriraki, dan juga masalah kriteria Walikota Pasal 58-59 yang ada pada UU Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004, aktivis HMI menginginkan adanya perubahan terutama pasal yang menyangkut pengusungan Cawali-Cawawali 15% menjadi 10% kursi di DPRD, sedangkan aktivis KAMMI tidak mempermasalahkan perubahan UU namun lebih pada implementasi yang ada di lapangan. Begitu juga dalam masalah penjaringan Calwali-Cawawali Kata Surabaya, aktivis HMI lebih cenderung melalui jalur independen dengan mekanisme penjaringan di masyarakat, sedangkan aktivis KAMMI lebih eenderung melalui konversi partai politik di internal partai dan antar partai yang bergabung.