Daftar Isi:
  • Buruh dipandang sebagai golongan lemah, berpendidikan rendah, berketrampilan minim, tidak memiliki kekuatan dan daya selain tenaga yang mereka miliki. Mereka terpaksa tunduk dibawah eksplorasi pemilik modal sehingga kebebasan mereka terpejara dalam kekuasan borjuis. Dalam situasi ini, sering kali agama menjadi mesian. Sebagaimana pemahaman buruh mengenai kehendak dan kekuasaan Tuhan yang dipercaya dan diharapakan dapat merubah nasib mereka menjadi lebih baik. Seiring derasnya arus industrialisasi kehadiran berbagai persoalan sosial tidak terbendung dan akhirnya berdampak terhadap pemahaman mengenai kehendak Tuhan dan kebebasan berbuat yang dimiliki buruh. Sehingga pemahaman mengenai takdir yang diharapakan berperan terhadap etoskerja buruh dalam industialisasi menjadi parsial dan semakin mengarah terhadap sebab kemerosotan, kemunduran, serta kelemahan umat Islam di tengah perkembangan Industrialisasi. Hingga melahirkan bentuk ketiga pemaknaan takdir yang tidak murni Jabariyah dan tidak murni Qodariyah. Dalam kaitannya antara problem sosial dan pemahaman keyakinan agama, Weber lebih dahulu mengutarakan gagasannya dalam sebuah tesis (protestan ethic). Dalam analisisnya motivasi kegiatan ekonomi sering terdapat pada suatu kelompok tertentu pemeluk suatu agama, yakni bersumber pada keyakinan pemeluk tersebut bahwa kehidupan mereka telah ditentukan takdir Allah kepada orang-orang “terpilih” namun ada kewajiban lain dengan menjadikan diri mereka sebagai orang-orang terpilih mereka harus berusaha “bekerjakeras” inilah yang disebut Weber dengan kesungguhan mengabdi pada Allah. Tapi menurut Harun Nasution tidak semudah itu menyandingkan antara pemahaman agama dengan kultur masyarakat Jawa yang sudah mengakar dalam ritme kehidupan masyarakat Jawa. Arus industrialisasi membawa gelombang pergeseran pemahaman takdir buruh pabrik, sehingga menghasilkan tipologi pemaknaan takdir buruh pabrik. hal ini dikarenakan terdapat sebagian responden yang tidak murni memiliki pemahaman takdir dengan sikap Jabariyah dan Qodariyah. Dalam sikap dan perbuatanya, akan tetapi cenderung mengambil jalan tengah antara keduanya. Meski bentuk ini tidak sedominan buruh dengan pemahaman takdir Jabariyah yang terikat dengan konteks kultural masyarakat Jawa “Nrimo Ing Pandum”, Namun bentuk ini hampir membawa sebagian buruh pabrik menuju pemahaman takdir yang utuh dan menempati perannya dalam perkembangan Industrialisasi.