Daftar Isi:
  • Dalam perkembangan tafsir al-Qur’an ditemui suatu moment tradisi penafsiran al-Qur’an bersinggungan dengan tradisi tasawwuf. Persinggungan ini kemudian memunculkan dua aliran tasawuf, sunny dan nazari. Persinggungan ini melahirkan ittijah penafsiran al-Qur’an khas kaum sufi yang biasa dikenal dengan tafsir sufi. Corak tafsir sufistik ini cukup kontroversial dan kurang mendapatkan atensi (little-studied genre), namun corak ini telah diakui sebagai corak tafsir yang berdiri sendiri secara utuh. Di kalangan tokoh tafsir sufi, muncul nama Abu Hamid al-Ghazali representatif sufi sunni dan Ibn ‘Arabi sufi nazari. Keduanya menggunakan metode ta’wil dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Merupakan hal yang menarik untuk dikaji, perihal epistemologi ta’wil keduanya, titik temunya, dan perbedaannya serta mengetahuai posisi bangunan ta’wil mereka dalam epistemologi, bayani, ‘irfani dan burhani.Epistemologi ta’wil al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi dibangun atas dasar dikotomis zahir dan batinn al-Qur’an. Dari sini al-Ghazali membuat tingkatan ilmu al-Qur’an menjadi al-sadaf dan ilmu al-lubab. Dikotomi ini merupakan sistematika membumbung dari partikuar ke universal dan dari bunyi ke makna. Jalan untuk menuju ke sana adalah suluk. Sedang dalam perspektif Ibnu ‘Arabi kala>m terdapat dua tingkatan, kalam yang tidak perlu substansi (medium yang dipakai untuk mengungkapkan bahasa), dan kalam yang terikat dengan substansi. Ilmu dapat diperoleh melalui kalam esesnsial. Adapun kalam yang terikat dengan substansi hanya melahirkan pemahaman (al-fahm) semata. Untuk menembus makna batin diperlukan semacam “kepolosan” (ummy) sebagaimana yang dimiliki oleh Nabi agar mampu menembus dan menangkap makna-makna hakiki dari firman-Nya dengan menanamkan taqwa. Dalam timbangan epistemologi, al-Ghazali menggunakan kolaborasi bayani dan ‘irfani. Sementara Ibn ‘Arabi menggunakan burhani dan ‘irfani.