Pagelaran Wayang Kulit sebagai Sarana Pembentukan Karakter Bangsa
Main Authors: | NURHAYATI, BERNADETA RESTI, Suroto, Valentinus |
---|---|
Format: | BookSection PeerReviewed Book |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
Unika Soegijapranata
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://repository.unika.ac.id/21767/1/MAKALAH%20TJI_FINAL_B%20RESTI.doc http://repository.unika.ac.id/21767/2/ALLinPDF%20Buku%20Kebudayaan%20Ideologi.pdf http://repository.unika.ac.id/21767/ |
Daftar Isi:
- Bangsa Indonesia memiliki kekayaan berupa seni dan budaya adiluhung. Salah satu seni budaya ini adalah wayang kulit. Wayang kulit merupakan gabungan antara seni kriya, seni pahat, seni sastra, seni musik, dan seni rupa. Wayang kulit yang populer di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dipercayai telah ada sejak masa 1500 tahun sebelum Masehi. Pada masa lalu, pagelaran wayang kulit seringkali diselenggarakan dalam berbagai kegiatan masyarakat, baik kegiatan ketika ada perhelatan perkawinan, maupun sunatan, merti desa, atau kegiatan kemasyarakatan lainnya. Asal mula kata wayang, yakni dari kalimat “Ma Hyang” yang berarti berjalan menuju ke Hyang Maha Tinggi (roh, Tuhan, Dewa), maka tema-tema cerita yang digarap dalam seni pewayangan dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa setiap manusia berjalan menuju pada ke-Illahi-an. Pentas wayang kulit tidak terlepas dari peran dalang yang bertugas sebagai narator. Dalang berperan untuk menyampaikan pesan-pesan “piwulang” atau ajaran tentang kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan manusia. Dalang berperan penting dalam menyiapkan naskah cerita yang inovatif sesuai kondisi dan kebutuhan, namun tetap memiliki konten edukasi dan budaya tanpa mengabaikan tuntutan masyarakat akan hiburan. Pesan inilah yang menyebabkan dalam seni pagelaran wayang kulit terkandung nilai filosofi budaya bangsa Indonesia yang perlu untuk selalu dihidupkan meskipun tidak harus sesuai dengan pakem yang ada, tetapi disesuaikan dengan kekiniannya untuk tetap menyampaikan pesan filosofinya.