Daftar Isi:
  • Indonesia merupakan negara yang banyak memidanakan anak. Lebih dari 4000 anak terpaksa mendekam di lembaga pemasyarakatan (Lapas) karena berbagai kasus (Darwis, 2015). Saat ini Indonesia hanya memiliki 17 lembaga pemasyarakatan khusus anak dan hanya dapat menampung sebanyak 1802 anak. Jumlah lapas anak dianggap kurang memenuhi umlah narapidana anak di Indonesia. Pada wilayah yang tidak memiliki Lapas Anak, seperti i Yogyakarta, anak didik dan tahanan anak ditempatkan di Lapas/Rutan Dewasa. Menempatkan anak berkonflik hukum ke dalam Lapas Dewasa membuat anak berada dalam tekanan beban psikologis. Rehabilitasi pada Lapas Anak seharusnya fokus pada perubahan personal sehingga anak didik tidak mengulangi perilaku kriminal saat kembali ke dalam dunia sosial. Untuk menunjang proses rehabilitasi anak, sasaran rehabilitasi mengarah pada lima hal mendasar, yaitu: Rehabilitasi Mental-Spiritual, Rehabilitasi Relasi Sosial Kemasyarakatan, Rehabilitasi Seksual, Rehabilitasi Psikologis, dan Rehabilitasi Budi Pekerti (Meldiny, 2013). Metode rehabilitasi anak yang dianggap paling efektif saat ini adalah group therapy dan family therapy. Analisis masalah penanganan anak berkonflik hukum di Yogyakarta dengan metodologi penelitian ex post facto, bertujuan mengamati kondisi eksisting dan menelusuri kembali data untuk mencari faktor penyebab. Hasil analisis dengan penalaran induktif kemudian membentuk kesimpulan yang direalisasikan dalam rancangan gedung fasilitas Lembaga Pemasyarakatan Anak di Yogyakarta dengan menggunakan pendekatan teori kecerdasan. Teori kecerdasan yang diangkat adalah teori yang diungkapkan oleh Howard Gardner, yaitu multiple intelligence theory. Multiple intelligence terbagi menjadi delapan jenis, diantaranya: kecerdasan linguistik, musikal, matematika, visual-spasial, intrapersonal, interpersonal, kinetik dan naturalis (Gardner, 1983). Teori tersebut merupakan landasan untuk mewujudkan lingkungan yang mampu mengurangi beban psikologis anak berkonflik hukum.