PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MASYARAKAT ADAT BUGIS PASCA PERCERAIAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI DESA WAJOK HILIR KECAMATAN SIANTAN KABUPATEN PONTIANAK

Main Author: - A01107203, MAISA BAHARI
Format: Article info application/octet-stream eJournal
Bahasa: eng
Terbitan: Fatwa Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura , 2013
Online Access: http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfh/article/view/3290
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfh/article/view/3290/3287
Daftar Isi:
  • Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai landasan hukum perkawinan berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, tanpa membedakan daerah, suku, agama dan keturunan. Dengan adanya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dalam ketentuan pokoknya bersifat umum dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus, sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan dan diterapkan secara khusus bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Di antara ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai hukum perkawinan, di dalamnya terdapat harta kekayaan dalam perkawinan. Hal ini dimuat dalam Bab XIII terdiri dari 13 Pasal, yaitu Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Di antara Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 tentang harta kekayaan dalam perkawinan, penulis meneliti dan membahas tentang pembagian harta bersama dalam putusnya perkawinan (cerai hidup) yang di atur dalam Pasal 88 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 88 menyatakan : bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama, sedangkan Pasal 97 menetapkan : bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditetapkan lain dalam perjanjian perkawinan.Pembagian harta bersama pada masyarakat adat Bugis bila terjadi perceraian, maka harta bersama tersebut tidak dibagi 2 (dua) melainkan berdasarkan siapa yang lebih banyak mencari nafkah di antara kedua belah pihak, dimana pada umumnya pada laki-laki (suami) lebih banyak mendapatkan harta bersama dibandingkan pihak istri. Hal ini disebabkan laki-laki pada masyarakat adat Bugis dipandang sebagai pemikul dan perempuan menjunjung buraknea alembarak, bainea ajunjung dan ketentuan hukum adat Bugis diyakini masyarakatnya tidak bertentangan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Kepatuhan Masyarakat adat Bugis pada hukum adatnya, menjadikan faktor penyebab masyarakat adat Bugis menyelesaikan masalah harta bersama berdasarkan hukum adatnya dibandingkan melalui mekanisme pengadilan Agama atau Kompilasi Hukum Islam, Di samping itu juga masyarakat adat Bugis meyakini bahwa penolakan terhadap pemberlakuan hukum adat dalam penyelesaian harta bersama akan berdampak terhadap penyingkiran dalam masyarakat dan dalam hidupnya dipercayai akan mendapat musibah. Keyword : Pembagian Harta Bersama, Masyarakat Adat Bugis, Perceraian