IMPLIKASI PUTUSAN ICJ BERKAITAN DENGAN SENGKETA ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA MENGENAI PERBURUAN PAUS ILEGAL DI WILAYAH ANTARTIKA (STUDI TERHADAP PUTUSAN ICJ NO. 226 TAHUN 2014)

Main Author: Nanik Trihastuti, Nuswantoro Dwi Warno, Rizza Oktavia Tunggal Putri*,; Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Format: Article info application/pdf eJournal
Bahasa: eng
Terbitan: Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro , 2016
Subjects:
ICJ
Online Access: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/12402
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/12402/12036
Daftar Isi:
  • Kasus Perburuan Paus Illegal yang dilakukan oleh Jepang dengan dalih penelitian ilmiah dalam program JARPA II, telah mengancam kepunahan populasi paus di wilayah Antartika. Sebagai sesama anggota IWC, Australia menggugat Jepang ke ICJ terkait kasus tersebut pada 31 Mei 2010 lalu , yang membuktikan bahwa Jepang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Artikel VIII ICRW, mengenai izin khusus untuk berburu paus atas dasar penelitian ilmiah. Pada tanggal 31 Maret 2014, ICJ memutuskan bahwa Jepang harus menghentikan pelaksanaan JARPA II secepatnya dan mencabut segala izin yang terkait. Putusan ICJ tersebut hanya berlaku untuk program JARPA II saja, yang telah dipatuhi dengan mengentikan pelaksanaan JARPA II. Meskipun begitu, putusan tersebut tidak menghentikan perburuan paus yang dilakukan oleh negara Jepang secara menyuluruh, karena Jepang kembali mengajukan proposal program penelitian ilmiah bernama NEWREP-A, yang menimbulkan banyak pertentangan dari negara anggota IWC lainnya yang anti-whaling.