Salam
Main Author: | Mimbar, Redaksi |
---|---|
Format: | Article info application/pdf eJournal |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
FIkom Unisba
|
Online Access: |
http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/702 http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/702/365 |
Daftar Isi:
- Jurnal—yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sebentuk publikasi ilmiah khusus yang memuat artikel-artikel di satu bidang ilmu tertentu—seharusnya memang memperoleh tempat yang layak di lingkungan lembaga perguruan tinggi sekarang ini. Keberadaan sebuah jurnal, seperti pernah dikatakan Hernowo (1999), mencerminkan kedinamisan dan kebergairahan masyarakat kampus dalam menemukan hal-hal baru sekaligus menyongsong era baru. Malah, lebih jauhnya lagi, keberadaan jurnal ilmiah disebabkan kebutuhan nyata masyarakat ilmiah, untuk: (1) memperoleh kritikan, saran, dan masukan lainnya bagi karyanya, (2) pengakuan keilmuan dan promosi jabatan, (3) rujukan terbaru, (4) ide aktual untuk kajian lanjutan, dan (5) mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi(Indrawan, 2000). Sayangnya, seiring dengan kian pesatnya perubahan yang terjadi di segala bidang dan semakin bertambah kompleksnya problem masyarakat, kehidupan jurnal semakin merana. Karena itu, saat ini, untuk kasus di Indonesia, kesinambungan jurnal ilmiah sangat tergantung pada kuatnya komitmen organisasi profesi dan lembaga perguruan tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Data kasar yang ada, sebagaimana dikemukakan Hernowo, menunjukkan bahwa, pertama, pada saat ini betapa sulitnya menemukan sebuah jurnal yang memiliki otoritas sekaliber Prisma (bila majalah ini dapat digolongkan sebagai jurnal yang ngepop) yang pada tahun-tahun 1970-an menjadi wadah sekian pemikiran hebat, terutama berkenaan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial. Kedua, ada memang beberapa jurnal menarik yang masih beredar di pasar bebas, namun keadaan beberapa jurnal itu kadang amat mengenaskan: dalam segi fisik tidak dapat bersaing dengan publikasi nonjurnal yang sudah sampai ke taraf “gila-gilaan” dalam memanfaatkan kemampuan desktop publishing, dan dalam segi isi materi kadang sulit menjaga kekonsistenan kualitas dan daya tarik intelektualnya. Ketiga, setiap jurnal yang diterbitkan pada masa kini, senantiasa memendam dilema: tidak dapat memadukan secara seimbang antara idealitas (kesungguhan menyajikan jurnal secara prima) dengan komersialitas (dapat mendatangkan uang yang cukup untuk menggaji para pengelolanya secara memuaskan). Data ketiga inilah, menurut Hernowo, yang membuat jera sebuah lembaga penelitian atau penerbitan ilmiah di universitas untuk benar-benar menggarap secara serius sebuah jurnal.Sebetulnya, khazanah literatur Islam Indonesia, pernah diperkaya oleh penerbitan pelbagai jurnal ilmiah, terutama pada dasawarsa 1990-an. Sebut saja, misalnya, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an (1991-1997), Islamika (1993), Pesantren (1988-1995) dan Al-Hikmah (1992). Namun, ternyata umur jurnal-jurnal tersebut rata-rata tidaklah panjang — jika tidak hendak dikata seumur jagung. Ulumul Qur’an (UQ) yang dikomandani Prof. M. Dawam Rahardjo, hanya bertahan sekitar enam tahun. Padahal, isinya yang beragam, yang oleh Usep Romli (Pikiran Rakyat, 6 November 2000) disebut-sebut kaya dengan karya-karya budaya (sastra dan lukis) cukup menampilkan nuansa tentang cakupan kekayaan ilmu-ilmu Islam. Jurnal ilmiah ini, konon, seperti dikemukakan pemimpin redaksinya — Dawam Rahardjo, ingin bersikap terbuka, sekalipun terhadap penulis non-Muslim. “Jika kami menginginkan sebuah tulisan tentang agama lain dalam rangka perbandingan agama dan saling apresiasi, maka UQ akan mengundang penulis dari agama yang bersangkutan,” katanya. “Kami juga menerima tulisan pemikir non-Muslim yang melakukan kritik terhadap pandangan pemikir Muslim. Misalnya tulisan Romo Magnis-Suseno. Kritik itu sangat berguna dan merupakan bahan introspeksi. Haluan UQ memang membina saling pengertian dan kerukunan antarumat bergama,” jelas Dawam (Ulumul Qur’an, Nomor 5, Vol. IV Th. 1993, hlm. 2). Jurnal Dialog Pemikiran Islam Islamika hanya terbit beberapa nomor. Jurnal yang dimotori Haidar Bagir, didukung para pakar dunia Islam seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra, Dr. Din Syamsuddin, Dr. Komaruddin Hidayat, M. Riza Sihbudi, dan Satrio Arismunandar ini mengutamakan pembahasan masalah dunia Islam, misalnya tentang “Bahasa Politik Islam” (No. 5, 1994) dan “Nalar yang Terpasung: Media Massa di Dunia Islam” yang ditulis Abdelwahab El-Affendi, serta “Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Semangat Keagamaan” karangan Nurcholish Madjid (Islamika, No.6, 1995).Jurnal Pesantren yang diterbitkan P3M — sebuah LSM di lingkungan NU, di bawah pimpinan cendekiawan muda NU, Masdar Farid Mas’udi, berusia singkat pula. Setelah enam tahunan memuat tulisan-tulisan yang mencoba mentransformasikan dan memformulasikan nilai-nilai pesantren, melalui tulisan-tulisan semi ilmiah, harus surut dari peredaran. Mungkin kini hanya beredar terbatas di lingkungan para pakar NU, atau sama sekali sudah “wassalam”, tak terdengar kabar beritanya (Romli, 2000). Nasib yang tidak jauh beda rupanya harus ditanggung juga oleh Al-Hikmah, Jurnal Studi-Studi Islam. Jurnal pimpinan Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. yang diterbitkan Yayasan Muthahhari dan didukung penerbit Mizan ini hanya sanggup terbit dalam delapan belas edisi, sebelum pergi tanpa pamit. Karena itulah pihak Mizan kemudian berpendapat bahwa penggunaan nama “jurnal”, katanya, secara eksplisit harus dicoba dihindarkan. Mengapa? “Karena masyarakat seperti mengalami trauma (luka berat) bila mendengar kata jurnal,” kata Hernowo (1999).Apakah gejala traumatis mendengar nama jurnal ini juga melanda masyarakat kampus? Jawabannya bisa “ya” bisa “tidak”. Namun, kenyataan yang ada, sebagaimana dikatakan Hernowo, menunjukkan bahwa kegairahan untuk melanggan sebuah jurnal bagi para insan yang bekerja di perpustakaan universitas ternyata tergolong rendah. Para dosen juga tampak kesulitan untuk membangkitkan para mahasiswa atau dirinya sendiri agar mau mengkaji secara serius bahan-bahan yang disajikan oleh sebuah jurnal, padahal dibandingkan bahan-bahan yang berasal dari text book, kadang jurnal lebih up to date dalam melaporkan keadaan. Lihat saja, misalnya Pantau—untuk menyebut satu di antara beberapa nama jurnal komunikasi (media dan jurnalisme) yang digarap secara serius—kajian ihwal peristiwa mutakhir bisa kita telaah lewat setiap edisinya. Sebagai lembaga ilmiah, pendidikan tinggi (PT) itu tentulah punya tujuan. Tujuannya, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, adalah “Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional”. Hakikat dari landasan normatif keberadaan pendidikan tersebut mengandung makna bahwa PT pada dasarnya memiliki tiga ciri utama, yaitu mengembangkan, menyebarluaskan, dan mengupayakan penggunaan ilmu pengetahuan. Implementasi dari ciri-ciri tersebut melekat pada Tridharma Perguruan Tinggi. Pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan melalui kegiatan penelitian; penyebarluasan ilmu pengetahuan dilakukan melalui publikasi ilmiah; dan penerapannya dilakukan melalui pendidikan-pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat. Ketiga ciri tersebut memiliki arti strategis dalam mewujudkan eksistensi suatu PT. Ukuran keberhasilan PT, selain diukur dari mutu lulusannya, juga diukur berdasarkan mutu dan intensitas penerapan ketiga ciri tersebut secara komprehensif dan berkesinambungan.Berdasarkan konstelasi tersebut, maka peran penelitian dan publikasi menjadi bagian yang sangat strategis. Penelitian yang dimaksud dilakukan oleh tenaga akademik (dosen, pustakawan, dan laboran) maupun oleh mahasiswa dalam wujud skripsi, tesis, dan disertasi, serta pengkajian dalam wujud pembahasan bahan-bahan non-empirik. Sedang publikasi ilmiah meliputi antara lain jurnal (ilmiah), prosiding, dan kumpulan abstrak tulisan ilmiah, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Melihat esensi dan urgensi penelitian dan publikasi ilmiah dapat dilihat dalam kriteria penilaian dalam penentuan ranking perguruan tinggi di Asia-Australia tahun 1999 yang dilakukan majalah Asiaweek. Salah satu penilaiannya adalah pada aspek hasil penelitian dan publikasi ilmiah, di mana kriterianya mencakup (1) jumlah artikel (per dosen) yang dirujuk dalam jurnal ilmiah internasional yang direkam oleh Journal Citation Index, (2) jumlah artikel yang diterbitkan di jurnal Ilmiah di Asia, (3) dana penelitian, (4) jumlah dosen bergelar doktor, dan (5) jumlah mahasiswa pascasarjana (Asiaweek, 23 April 1999, dalam Kunaefi, 2000).Pada dasarnya, puncak pengakuan eksistensi PT adalah tercermin pada posisinya dalam komunitas bidang keilmuannya masing-masing, dan ukuran pengakuan tersebut terlihat pada seberapa jauh karya penelitian dan publikasinya diakui dalam komunitas ilmunya. Dan hal itu tergambarkan oleh seberapa banyak anggota sivitas akademika yang memperoleh penghargaan. Semakin tinggi skala pemberi penghargaan, semakin besar pula pengakuan tersebut. Dalam lingkungan PT dan badan litbang (penelitian dan pengembangan), salah satu patokan (kriterium) yang dinilai tinggi bobotnya ialah hasil karya tulis seseorang. Sebagaimana “diramalkan” Prof. Selo Soemardjan (dalam Purbo-Hadiwidjoyo, Kompas, 17 November 1987), pada waktu mendatang peningkatan strata sosial akan dilihat dari hasil karya seseorang untuk bisa dihargai. Pendidikan tinggi tidak akan dihargai, jika tanpa prestasi. Dan di sini prestasi itu akan lebih sering lagi dihubungkan dengan karya yang tertulis, tidak hanya gelar, meskipun gelar itu sudah rangkap. Karena itu, kiranya sungguh tepat bila komitmen pengembangan mutu dosen lewat pemasyarakatan pentingnya publikasi hasil penelitian melalui kebijakan kepegawaian (kenaikan jabatan fungsional). Kesadaran terhadap berlakunya hukum “publish or perish” dalam menjaga eksistensi profesi masyarakat akademik, pada tahap-tahap awal perlu didukung oleh seperangkat aturan yang lebih bersifat memaksa. Meski dalam prakteknya di beberapa negara maju menanggapi pendekatan tersebut cenderung bervariasi, namun fakta lain membuktikan, kuatnya dukungan terhadap komitmen pada penelitian dan publikasi ilmiah melalui kebijakan promosi dosen semacam itu, menjadi salah satu faktor kuat untuk tumbuhnya research university di Amerika Serikat.Kami kira, MediaTor, juga segenap masyarakat ilmu komunikasi, selangkah demi selangkah tetapi pasti, tengah menuju ke sana. Semoga!Redaksi