ANALISIS PELAKSANAAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A BANDAR LAMPUNG
Main Author: | Rahman, Samsu; FH UNILA |
---|---|
Format: | Article info eJournal |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
FAKULTAS HUKUM UNILA
, 2014
|
Online Access: |
http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/pidana/article/view/146 |
Daftar Isi:
- Indonesia menganut falsafat pembinaan narapidana, yang disebut dengan “Pemasyarakatan”, sedangkan istilah penjara diubah menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” yang digunakan sebagai tempat untuk membina dan mendidik narapidana.[1] Dasar hukum pembebasan bersyarat Pasal 15 KUHP yang menyatakan orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, serta Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandarlampung dan untuk mengetahui kendala saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diketahui Narapidana memiliki hak untuk mendapatkan Pembebasan Bersyarat hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal 14. Syarat dan tata cara pelaksanaan Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor.M. 01-PK.04-10 Tahun 2007. Meskipun mendapatkan Pembebasan Bersyarat adalah hak bagi Narapidana namun Narapidana tersebut harus melengkapi syarat-syarat yang telah diatur Undang-Undang. Secara implisif Narapidana dapat mengambil haknya apabila kewajibannya telah dipenuhi. Adanya Pembebasan Bersyarat memiliki dampak positif yang dirasakan bagi Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan. Kendala pada saat pelaksanaan Pembebasan Bersyarat adalah ketika melengkapi syarat administratif dan subtantif.[1] Romli Atmasasmita. 1983. Kepenjaraan dalam suatu Bunga Rampai. Cet.1. Armico. Bandung. Hlm:44