Faktor risiko pneumonia pada balita dan model penanggulangannya
Main Author: | Bambang Sutrisna, author |
---|---|
Format: | Doctoral Bachelors |
Terbitan: |
[, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia]
, 1993
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/83526-Faktor risiko-Full text (D 572).pdf http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-3/83526-D572-Bambang Sutrisna-Summary.pdf http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-3/83526-D572-Bambang Sutrisna-Ringkasan.pdf |
Daftar Isi:
- <b>ABSTRAK</b><br> Faktor risiko, menurut Last (1983), adalah suatu terminologi yang dihasilkan oleh suatu penelitian epidemiologi yang mempunyai beberapa arti yang antara lain: 1. suatu atribut atau pemajanan yang dapat dihubungkan dengan peningkatan probabilitas terjadinya suatu outcome seperti terjadinya suatu penyakit; yang tidak selalu merupakan faktor kausal. Ini sering disebut sebagai risk marker, <br /> 2. suatu atribut atau pemajanan yang meningkatkan probabilitas terjadinya suatu penyakit atau suatu outcome tertentu lainnya. Ini sering disebut penentu (determinant) atau faktor yang menentukan; <br /> 3. suatu penentu yang dapat dimodifikasi dengan intervensi sehingga dapat mengurangi probabilitas terjadinya penyakit atau suatu outcome tertentu. Ini sering juga disebut sebagai faktor risiko yang dapat dimodifikasi. <br /> Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan faktor risiko dari pneumonia pada bayi dan anak balita tercakup dalam tiga pengertian di atas. <br /> Pneumonia adalah penyakit dengan gejala batuk pilek disertai napas sesak atau napas cepat. Definisi pneumonia di atas adalah definisi kasus yang baru diperkenalkan oleh WHO pada tahun 1989 dan dipakai oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam program penanggulangan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) secara nasional pada tahun 1991. Sebelumnya, istilah yang dipakai untuk kasus ini adalah ISPA ISPA biasanya mengandung arti yang lebih luas karena di dalam ISPA juga termasuk saluran pernapasan atas, telinga, hidung, dan tenggorok, sedangkan pada pneumonia yang dimaksud adalah infeksi saluran pernapasan bawah yang akut dan penyakit ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Sebenarnya, program penanggulangan ISPA yang mempunyai tujuan menurunkan mortalitas pada bayi dan anak balita ditujukan pada pneumonia ini. Oleh karena itu, sejak tahun 1989, WHO menggunakan istilah pneumonia dalam case managementnya sebagai pengganti ISPA dan hal itu pun dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1991. Dalam telaah kepustakaan pun barn pada tahun-tahun terakhir ini lebih banyak muncul istilah pneumonia; sebelumnya cukup banyak dipergunakan istilah ISPA. Biasanya, yang dimaksud pneumonia sekarang adalah istilah yang dulunya dikategorikan sebagai "ISPA sedang dan "ISPA berat". <br /> ISPA dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang. Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang itu menunjukkan bahwa 20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA. Diperkirakan bahwa 2-5 juta bayi dan anak balita di berbagai negara setiap tahunnya meninggal karena ISPA. Dua pertiga dan kematian ini terjadi pada kelompok usia bayi, terutama bayi pada usia dua bulan pertama kelahiran (WHO, 1986). Jadi, pengurangan kematian yang berhubungan dengan ISPA merupakan komponen penting tiap program yang ditujukan untuk menurunkan kematian bayi dan anak balita. <br /> ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan anak balita di Indonesia. Angka Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986 menunjukkan bahwa 21,8% kematian bayi dan 36,0% kematian anak balita disebabkan oleh ISPA (Budiarso et al, 1986); angka Survei Kesehatan Rumah Tangga 1992 menunjukkan bahwa 36% kematian bayi disebabkan oleh ISPA dan 13% kematian anak balita disebabkan oleh ISPA (Soemantri et al., 1992); survei prospektif penyebab kematian ibu dan anak pada tahun 1982/1983 di Sukabumi menunjukkan bahwa 30,2% kematian bayi usia 1-11 bulan dan 29,2% kematian anak usia 1--4 tahun disebabkan oleh pneumonia (Budiarso et al, 1983); studi prospektif di Kecamatan Kediri, NTB, pada tahun 1986/1987 menemukan 27,8% bayi dan 30,5% anak balita meninggal karena ISPA (Roesin, 1985). Data di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia, antara lain, Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Denpasar menunjukkan bahwa proporsi pengunjung poliklinik anak berkisar antara 17-70% adalah ISPA; proporsi kasus anak yang dirawat karena ISPA berkisar antara 5-39,7% dan 2,6-3,4% kematian.