Pengawasan Terhadap Tindakan Upaya Paksa Penyitaan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Hakim Syarifuddin Putusan No. 54/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST) = The Supervision for seizure of Indonesian Corruption Eradication Comission (Case Study Judge Syarifuddin. Case Number: 54/PID.B/TPK/2011/ PN.JKT.PST)

Main Author: Handiko Natanael, author
Format: Bachelors
Terbitan: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2012
Subjects:
Online Access: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20312620-S 43151-Pengawasan terhadap-full text.pdf
Daftar Isi:
  • <b>ABSTRAK</b><br>Skripsi ini membahas beberapa hal. Pertama, pembahasan mengenai permasalahan yang muncul dalam penerapan upaya paksa penyitaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua, pembahasan mengenai limitasi yang dipakai untuk menilai upaya paksa yang dilakukan oleh KPK. Ketiga, pembahasan mengenai apakah gugatan perdata dapat digunakan sebagai upaya untuk meminta ganti kerugian atas tindakan penyitaan yang tidak sesuai limitasi yang ada yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data penelitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan yang diperoleh. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perbuatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menyita barang-barang Hakim Syarifuddin yang tidak termasuk dalam barang bukti tindak pidana yang didakwakan adalah termasuk suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum tersebut disebabkan karena Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan tindakan baik berupa penggeledahan maupun penyitaan tidak melihat pada limitasi pada peraturan yang ada seperti yang ada di dalam KUHAP maupun peraturan terkait. Penyitaan barang-barang Hakim Syarifuddin yang tidak terkait tindak pidana yang didakwakan membuat Hakim Syarifuddin merasa nama baiknya terganggu atas pemberitaan tersebut. Hal ini karena pemberitaan yang ada memposisikan seakan-akan Hakim Syarifuddin disuap dengan uang lebih dari Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah), padahal barang bukti didalam dakwaan hanya sejumlah Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). KPK menyatakan penyitaan barang-barang selain uang barang bukti yang ada di dalam dakwaan adalah karena KPK bermaksud meminta penerapan pembuktian terbalik di dalam persidangan kepada Majelis Hakim. Pembelaan KPK tersebut ternyata tidak diterima oleh Majelis Hakim karena barang bukti yang dimaksud tersebut harus disertakan di dalam dakwaan. Atas kerugian yang dialami oleh Hakim Syarifuddin kemudian Majelis Hakim memutus Komisi Pemberantasan Korupsi wajib untuk membayar ganti kerugian kepada Hakim Syarifuddin sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan mengembalikan barang-barang yang tidak terkait tersebut. <hr> <b> Abstract </b><br> This thesis is mainly focusing on three problems. First, the discussion about the problems arising in seizure action by Indonesian Corruption Eradication Commission. Second, the discussion about the limitation that must be used to assess seizure action which conducted by Indonesian Corruption Eradication Commission. Third, the discussion about whether the civil lawsuit can be used as a remedy to request compensation for the unlawful seizure action by Indonesian Corruption Eradication Commission. This thesis is using normative-juridical method which some of the sources are based on the related literatures. The conclusion of this thesis states that the seizure action which is conducted by Indonesian Corruption Eradication Commission to Judge Syarifuddin?s assets which is not belong to the evidences constitute as a tort. That seizure action defined as a tort because Indonesian Corruption Eradication Commission conducting the house search and the seizure action without regard to the applicable laws and regulations, such as Indonesian Criminal Procedural Code. Judge Syarifuddin feels his reputation is defamed by the news of such seizure action. This is because the news informed that Syarifuddin as a judge was bribed with a large amount of money, more than Rp 2.000.000.000,- (two billion rupiahs), whereas the evidence in the indictment is only about Rp 250.000.000,- (two hundred fifty million rupiahs). Indonesian Corruption Eradication Commission stated that such seizure action is undertaken because they want to request to the Panel of Judges for applying the reversed burden of proof. That defense from Indonesian Corruption Eradication Commission was rejected by the Panel of Judges because the physical evidence must be included in the indictment. Due to the losses which was suffered by Judge Syarifuddin, the Panel of Judges ordered Indonesian Corruption Eradication Commission obliged to pay compensation to Judge Syarifuddin for Rp 100.000.000 (one hundred million rupiahs) and return Judge Syarifuddin?s assets which is not belong to the evidences.