Aspek hukum hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

Main Authors: Misra Dewita, author, Add author: Satya Arinanto, supervisor, Add author: Bhenyamin Hoessein, examiner, Add author: Fatmawati, examiner
Format: Masters Bachelors
Terbitan: Universitas Indonesia , 2011
Subjects:
Online Access: https://lib.ui.ac.id/detail?id=20277517
Daftar Isi:
  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang relatif baru di Indonesia. Lembaga yang bersifat independen ini didirikan khusus untuk menangani tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK oleh Undang-Undang diberikan kewenangan untuk melakukan intersepsi atau penyadapan dan merekam pembicaraan. Kewenangan KPK melakukan penyadapan ini bersinggungan dengan butir-butir hak asasi manusia, khususnya hak privasi yang terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tindakan penyadapan oleh KPK ini dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia serta bagaimana regulasi terkait dengan lawful interception di Indonesia. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Data sekunder ini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan; bahan hukum sekunder berupa buku, majalah ilmiah, artikel surat kabar, karya tulis ilmiah maupun sumber dari internet; dan juga bahan hukum tersier berupa kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara jelas mengenai kedudukan hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan dalam penanganan tindak pidana korupsi serta bisa menjadi masukan dalam penyusunan Rancangan Undang- Undang terkait tata cara intersepsi dalam rangka penegakan hukum. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penyadapan merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Penyadapan terhadap seseorang, baik menggunakan alat sadap maupun penyadapan terhadap alat komunikasinya merupakan tindakan yang telah melanggar hak privasi terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Namun hak ini dapat disimpangi oleh negara berdasarkan Undang-Undang karena hak berkomunikasi ini termasuk ke dalam kategori derogable rights. Sebagai bagian dari hak asasi manusia, hak berkomunikasi ini juga diatur dalam instrumen hukum internasional, antara lain dalam International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR). Sebagian negara di dunia telah memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur penyadapan, sementara hingga saat ini Indonesia belum memilki Undang-Undang sama. Saat ini teknis penyadapan yang dilakukan oleh KPK hanya didasarkan pada peraturan setingkat menteri yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/Per/M.Kominfo/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Untuk operasionalnya, KPK mempunyai SOP penyadapan yang mana setiap penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan SOP ini. Untuk menyempurnakan peraturan terkait lawful interception, pemerintah berencana membuatnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 31 ayat (4), namun ditentang oleh banyak pihak. Mahkamah Konstitusi kemudian memutus perkara uji materil terhadap pasal terkait dan menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, aturan tata cara lawful interception ini hendaknya dibuat dalam bentuk Undang-Undang bukan Peraturan Pemerintah. <hr> <b>Abstract</b><br> Indonesia. This independent institution is specially established to handle corruption crime. In implementing its investigation and prosecution, the KPK is authorized by law to use interception and/or wiretapping. The authority of KPK to conduct this interception is contradict to the elements of human rights especially privacy right which related to freedom of communication. A subject of discussion in this research is how interception conducted by KPK viewed from human rights perspective and how the related regulation with interception in Indonesia. This thesis writing using librarian research method with secondary data as the resource. This secondary data consist of primary law material consist of regulations and court verdict; secondary law material consist of books, scientific magazine, news paper article, scientific paper and internet resources as well; also tertiary law material consist of grand dictionary of Bahasa Indonesia and legal dictionary. The expected result of this research is to obtain a clear position about human rights perspective in the implementation of interception in handling corruption crime and to provide suggestion in the drafting of law related to interception method as well in the frame of legal enforcement. In short, the research can be concluded that principally an interception is contradict with human rights. An interception to a person whether using interception device or interception toward his communication device is contradict to the privacy rights which related to freedom of communication. However, this privacy right may be overrided by state based on the law because the right of communication in considered as derogable rights. As a part of human rights, the freedom of communication is also governed by international law instrument among others International Covenant on Civil and Political Rights. Some of the states in the world has owned the laws which govern specifically about interception, while Indonesia, has not yet govern the specific law on interception. At this moment, the technical method of interception conducted by KPK is only based on the regulation in the ministerial level namely Ministry of Communication and Information Decree Number 11/Per/M.Kominfo/02/2006 concerning Technical Interception Toward Information. For the operational purpose, KPK has their own standard operational procedure (SOP) where all interception should be conducted based on this SOP. To the perfection of regulation related to lawful interception, the government has planned to enact a government regulation as mandated by law on Information and Electronic Transaction Article 31 paragraph (4), but this plan has been argued by many parties. The Constitution Court has decided the judicial review on the related article and stated that the said Article is contradict to the UUD and has no legal force. Therefore, the provision on the lawful interception is suggested to be made in the form of law (undang-undang) not in the form of government regulation.