Aspek hukum perkawinan antar warga negara Indonesia yang berbeda agama (Islam dengan Kristen) yang dilakukan di Indonesia (Penetapan Pengadilan No.161/PDT.P/2001/PN.JKT.PST)
Main Author: | Muhammad Rizky Rahmani, author |
---|---|
Format: | Masters Bachelors |
Terbitan: |
, 2006
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-1/20268887-T36815-Muhammad Rizky Rahmani.pdf |
Daftar Isi:
- <b>ABSTRAK</b><br> Semakin majunya perkembangan teknologi terutama dalam bidang komunikasi dan pergaulan sosial masyarakat menyebabkan tingginya kemungkinan anggotanya untuk melakukan perkawinan beda agama. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran sekaligus memahami pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai suatu kenyataan yang sulit untuk dihindari. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, timbul beberapa masalah dalam melaksanakan perkawinan beda agama, yaitu mengapa hakim memberikan penetapan yang mengizinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan perkawinan beda agama? Apa dasar pertimbangannya? Apakah suami atau istri dan anak-anak dapat menjadi ahli waris dalam perkawinan tersebut? Permasalahan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Tipe penelitian yang digunakan bersifat evaluatif, merupakan suatu problem-identification, dan hasil yang diperoleh akan dianalisa ~ secara kualitatif. Mengenai sahnya suatu perkawinan, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyerahkannya kepada hukum agama dan kepercayaannya masing-masing mempelai. Menurut para ahli fiqh hukum Islam sendiri, terdapat perbedaan pendapat mengenai perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan yang termasuk dalam golongan ahlu kitab apakah sah dan halal. Sedangkan menurut agama Katolik, perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dengan cara meminta dispensasi (disporitas cultus) dari Uskup. Agama Protestan membolehkan perkawinan beda agama tersebut asalkan pihak yang non-Protestan setuju untuk membuat surat pernyataan bahwa ia tidak berkeberatan perkawinannya dilaksanakan di hadapan pemuka agama Protestan dengan tata cara Protestan. Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai perkawinan beda agama ini dan mengembalikan sahnya perkawinan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (1) . Sebagai akibat dari perkawinan yang telah dicatatkan dan sah menurut hukum negara, maka suami atau istri dan anak-anak merupakan ahli waris.