Fatawa Majlis Al-Ulama Al-Indonesi Allati Yata'allaq bi Al-Zawaj Baina al-Mu'tanqi al-Adyan al-Mukhtalifah: Dirasah fi al-Tafkir al Syar'i al-Islami bi Indonesi

Main Author: Abdullah, R.
Format: Article info application/pdf Journal
Bahasa: eng
Terbitan: Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung , 2017
Online Access: http://ejournal.inisnu.ac.id/index.php/JICI/article/view/18
http://ejournal.inisnu.ac.id/index.php/JICI/article/view/18/15
Daftar Isi:
  • Majlis Ulama Indonesia has issued a fatwa on interfaith marriage on June 1, 1980. The fatwa stipulates: 1. That an Islamic woman is not allowed (haram) to be married to non-Muslim men, 2. That a Muslim man is not allowed marry a non-Muslim woman. This fatwa was then reinforced by the decision of Fatwa Majlis Ulama Indonesia Number 4 / MUNAS VII / MUI / 8/2005, dated July 28, 2005, stating that the Marriage of different religions is haram and illegitimate, marriage of Muslim men with women scribes according to qaul mu’tamad is haram and illegitimate. The fatwa is interesting, because although the Qur’an clearly allows a Muslim man to marry a woman from a scribe, the fatwa does not allow it. Fatwa of such marriage ban because of its loss (mafsadah) is greater than the benefits (maslahah). Although this fatwa is specifically directed to events in Indonesia; but it is radical because it contradicts what is clearly stated in Qur’an. The fatwa is also against the classical Jurisprudence books, usually referred to by Majlis Ulama Indonesia in making other fatwas. The classical Jurisprudence texts agree to grant permission to Muslim men to marry women of the scribes. The issue of a fatwa by Majlis Ulama Indonesia which forbids Muslims and men from marrying non-Muslims, even those of the scribes, is apparently motivated by the conviction of religious rivalry and that the rivalry is considered by scholars to have reached a point of vulnerability for the interests and growth of the Muslim community. In addition, in the midst of society there have been thoughts that justify the marriage of different religions under the pretext of human rights and welfare, so that the door to the possibility of interfaith marriage should be completely closed.
  • Majlis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang perkawinan lintas agama pada tanggal 1 Juni 1980. Fatwa tersbut menetapkan: 1. Bahwa seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dikawinkan dengan laki-laki bukan Islam, 2. Bahwa seorang laki-laki muslim tidak diizinkan mengawini seorang perempuan bukan Islam. Fatwa ini kemudian dikuatkan oleh keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005, tanggal 28 Juli 2005, yang menyatakan bahwa Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah, Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah. Fatwa tersebut menarik, karena meskipun Alquran jelas mengizinkan seorang laki- laki muslim kawin dengan seorang perempuan dari ahli kitab, namun fatwa tersebut tidak membolehkannya. Fatwa larangan perkawinan semacam itu karena kerugiannya (mafsadah) lebih besar dari pada manfaatnya (maslahah). Meskipun fatwa ini ditujukan khusus mengenai kejadian-kejadian di Indonesia; namun hal itu bersifat radikal karena berlawanan dengan apa yang secara jelas dinyatakan dalam Alquran. Fatwa itu juga bertentangan dengan kitab-kitab fikih klasik, yang biasanya di rujuk oleh Majlis Ulama Indonesia dalam membuat fatwa-fatwa lain. Naskah-naskah fikih klasik sepakat memberikan izin kepada laki-laki muslim untuk mengawini perempuan ahli kitab. Dikeluarkannya fatwa oleh Majlis Ulama Indonesia yang melarang kaum muslimin pria dan wanita untuk kawin dengan orang-orang bukan Islam, bahkan juga dengan orang-orang ahli kitab, rupanya didorong oleh keinsafan akan adanya persaingan keagamaan dan persaingan itu dianggap oleh para ulama telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim. Di samping itu, di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan, sehingga pintu bagi kemungkinan dilangsungkannya perkawinan lintas agama harus ditutup sama sekali.