ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS PADA TN. E DENGAN TB PARU DI RUANG KENANGA RSUD Dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA

Main Author: Margaret Putri K, Intan
Format: Thesis NonPeerReviewed Book Journal
Bahasa: ind
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://eprints.uhb.ac.id/id/eprint/732/1/Awal.pdf
http://eprints.uhb.ac.id/id/eprint/732/2/BAB%201%20intan.pdf
http://eprints.uhb.ac.id/id/eprint/732/3/Daftar%20Pustaka.pdf
http://eprints.uhb.ac.id/id/eprint/732/
Daftar Isi:
  • A. LATAR BELAKANG Tuberkulosis merupakan penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk ginjal, tulang, dan nodus limfe. Agens infeksius utama Mycobacterium tuberculosis, adalah batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Bare & Smeltzer, 2013). Kuman ini memiliki sifat tahan terhadap asam karena dilapisi oleh lemak /lipid. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak mengandung oksigen (Yasmara dkk., 2016). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global yang menyebabkan jutaan orang menderita penyakit ini dan menjadi penyakit yang meyebabkan kematian terbesar kedua setelah Human Immun deficiency Virus (HIV) (WHO, 2013). Pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB, paling banyak berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%) (WHO, 2015). Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) Global Tuberculosis Report tahun 2016 menyatakan bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk 254.831.222 jiwa menempati posisi kedua dengan beban tertinggi di dunia. Tuberkulosis di Indonesia juga merupakan penyebab nomor empat kematian setelah penyakit kardiovaskular. Survei yang telah dilakukan memperkirakan prevalensi TB sebesar 660/100.000 atau berarti bahwa 0,65% populasi Indonesia menderita TB, atau setara 1.600.000 kasus TB, dimana tiap tahun terjadi 1.000.000 kasus baru. Sementara tingkat deteksi kasus hanya sebesar 33% atau sekitar 670.000 untuk kasus-kasus yang hilang.