Pola Hubungan Produksi dalam Usaha Garam Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petambak Garam di Kecamatan Batangan Kabupaten Pati 1998-2014
Main Author: | Ulfa, Maria |
---|---|
Format: | Thesis NonPeerReviewed application/pdf |
Bahasa: | eng |
Terbitan: |
, 2017
|
Subjects: | |
Online Access: |
https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/4072/1/Maria%20Ulfa.pdf https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/4072/ |
Daftar Isi:
- Melalui metode sejarah yang mencakup tahap heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi, skripsi ini mengkaji pola hubungan produksi dalam usaha garam rakyat di Kecamatan Batangan Kabupaten Pati pada tahun 1998-2014. Secara khusus permasalahan yang dikaji adalah pola hubungan yang terjalin antara pelaku usaha garam yang direkonstruksi melalui konsep ketergantungan sosial, eksploitasi, dan kemiskinan, serta menggunakan pendekatan sosial ekonomi. Pada tahun 1998 jumlah petambak lahan luas sebanyak 241 orang, petambak lahan sempit sebanyak 833 orang, dan penggarap bagi hasil sebanyak 1.250 orang. Pada tahun 2014 jumlah tersebut mengalami perubahan yakni jumlah petambak lahan luas sebanyak 298 orang, petambak lahan sempit sebanyak 873 orang, dan penggarap bagi hasil sebanyak 1466 orang. Pola hubungan produksi antara pemilik lahan (majikan) dan penggarap (buruh) diawali dengan adanya ketergantungan sosial di antara mereka. Meskipun didasari prinsip saling membutuhkan, namun kenyataannya hubungan yang terjadi di antara kedua pihak itu sebenarnya tidak setara dan cenderung hanya menguntungkan pemilik lahan luas. Hubungan produksi tersebut menjadikan pemilik lahan luas semakin kaya dan penggarap bagi hasil semakin miskin dan terbelakang. Hal itu dikarenakan adanya praktek eksploitasi dalam hubungan produksi usaha garam rakyat. Disadari atau tidak, pemilik lahan luas seringkali mengambil banyak keuntungan atas kerugian penggarap bagi hasil sehingga penggarap bagi hasil semakin hidup dalam kemiskinan. Saat terjadi krisis moneter tahun 1998 pemilik lahan luaslah yang umumnya mendapatkan keuntungan berlipat akibat kenaikan harga garam yang begitu tinggi. Pada tahun 2014 ketika ada bantuan dari pemerintah terkait penerapan geoisolator dalam produksi garam, banyak pemilik lahan luas di beberapa desa yang menarik keuntungan atas bantuan tersebut, yakni dengan mewajibkan penggarap bagi hasil untuk membeli bantuan terpal jika ingin menerapkan teknologi geoisolator. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan penggarap bagi hasil semakin meningkat, baik ketika krisis moneter tahun 1998 maupun ketika ada bantuan geoisolator.