TINJAUAN YURIDIS PENGATURAN LARANGAN PENGGUNAAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM MEREK PADA PASAL 72 AYAT (7) UNDANG – UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS

Main Author: Puspita, Farah Chandra
Format: Article info eJournal
Terbitan: Brawijaya Law Student Journal , 2023
Online Access: http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/5321
Daftar Isi:
  • Farah Chandra Puspita, Yenny Eta Widyanti, M. Zairul Alam Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No. 169 Malang e-mail: arahchandrap@student.ub.ac.id      ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketidaklengkapan hukum yang terdapat pada Undang – Undang Merek Indonesia, tepatnya pada pasal pasal 72 ayat (7) huruf c. Dalam pasal tersebut diatur mengenai penghapusan merek atas prakarsa Menteri hanya atas dasar persamaan secara keseluruhan dengan Ekspresi Budaya Tradisional. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penulis mengangkat 2 rumusan masalah; (1) Bagaimana Analisis Refusal Grounds dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis terkait larangan persamaan dengan Ekspresi Budaya Tradisional? (2) Bagaimana Analisis Pasal 72 ayat (7) Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Terkait Penghapusan Merek yang memiliki persamaan dengan Ekspresi Budaya Tradisional? Penelitian ini menggunakan metode yuridis - normatif dengan metode pendekatan perundang – undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan komparatif. Analisa bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier yang telah diperoleh dilakukan dengan penafsiran gramatikal dan penafsiran komparatif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat membuat kesimpulan bahwa larangan persamaan dengan EBT sudah seharusnya diatur pula dalam refusal grounds tepatnya sebagai alasan absolut penolakan permohonan merek. Hal ini dikarenakan larangan persamaan dengan EBT adalah kepentingan publik sehingga tidak terdapat pihak yang ditetapkan sebagai yang berhak untuk mengajukan keberatan ketika terjadi pelanggaran. Hal ini juga berkaitan dengan ketidakmampuan merek untuk menjadi tanda pembeda ketika mendaftarkan frasa milik umum. Selain itu setelah ditelaah, penulis dapat menyimpulkan Undang – Undang Merek tidak dibentuk demi melindungi EBT semata melainkan hanya sebagai konsekuensi tidak langsung. Oleh sebab itu beralasan bagi pembentuk Undang – Undang merek untuk tidak melindungi EBT hingga ke ranah persamaan pada pokoknya bahwa.  Namun dapat dipertimbangkan untuk mengadopsi sistem pengaturan di Australia dengan sistem perizinan dan konsultasi  oleh pemangku kepentingan atau masyarakat adat terkait dalam hal terdapat sanggahan atau tanggapan dalam permohonan merek atas EBT. Kata Kunci: Merek, Ekspresi Budaya Tradisional, Refusal Grounds   ABSTRACT This research studies the legal loophole of Mark Law in Indonesia, specifically in Article 72 paragraph (7) letter c, leading to the exploitation of the expressions of folklore by irresponsible parties by adopting them as marks. Article 20 and Article 21 also highlight the refusal grounds regarding the revocation of a mark. This research focuses on the analysis of Article 72 paragraph (7) of Mark Law and Refusal Grounds in Mark Law. Normative-juridical methods and statutory, analytical, and comparative approaches were employed to discover that the prohibition of resemblance between marks and the expressions of folklore, which should be regulated in refusal grounds, is an absolute reason for refusing the request for a mark because this prohibition of resemblance represents the public interest, so there is no party rightful to file an objection in case of infringement. Moreover, Mark Law is not formulated to protect the expressions of folklore but it serves as an indirect consequence. Adapting to the legal system applying in Australia can be taken into account for the permit issuance system and consultation by stakeholders or adat people regarding disclaimers or responses in the request for a mark in connection to the expression of folklores. Keywords: mark, refusal grounds, expressions of folklore