TINJAUAN YURIDIS PASAL 31 DAN 31A UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO 5 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDA

Main Author: Larega, Marco Wednesto
Format: Article eJournal
Bahasa: ind
Terbitan: Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum , 2019
Online Access: http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/3207
Daftar Isi:
  • Marco Wednesto Larega, Dr. Bambang Sugiri, S.H.,M.S., Fines Fatimah, S.H.,M.H. Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya mioneher7@gmail.com ABSTRAK Tindak Pidana Terorisme yang telah terjadi di Indonesia sejak peristiwa pengeboman di Bali (tahun 2002) sampai dengan peristiwa pengeboman di Surabaya dan Sidoarjo (tahun 2018) telah banyak menimbulkan berbagai efek dan pengaruh yang negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik secara nasional maupun internasional. Segala upaya dari pemerintah telah dikerahkan dalam menanggulangi tindak pidana terorisme tersebut, salah satunya dengan mengeluarkan undang-undang untuk menghadapi dan memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia. Mulai dari Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018. Dimana di dalam undang-undang yang terbaru tersebut juga mengatur bagaimana cara aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana terorisme melalui penyadapan yang diatur di dalam pasal 31 dan pasal 31A. Pasal 31 mengatur mengenai bagaimana penyidik dapat memulai penyadapan apabila telah memenuhi bukti permulaan yang cukup dan pasal 31A mengatur mengenai penyadapan yang dapat langsung dilakukan dalam “keadaan yang mendesak” tanpa menunggu adanya surat penetapan terlebih dahulu dari pengadilan. Tujuan penelitian ini ialah untuk membahas dan meninjau mengenai bagaimana batasan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang diatur di dalam pasal 31 dan apa yang dimaksud dalam “keadaan yang mendesak” sebagaimana diatur di dalam pasal 31A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan menggunakan sumber data primer yang diambil dari Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan juga undang-undang lain yang behubungan dengan penyadapan. Kemudian sumber hukum sekunder berupa Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014 yang berisi mengenai bukti permulaan cukup juga bahan hukum tersier sebagai petunjuk dari bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus besar Bahasa Indonesia dan juga Black Law Dictionary. Berdasarkan analisa dan tinjauan yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa bukti permulaan yang cukup di dalam pasal 31 ialah bukti yang sah sebagaimana diatur di dalam pasal 184 KUHAP dengan minimal “dua alat bukti” yaitu diantaranya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014. Selain itu sebagaimana yang diatur di dalam pasal 26 ayat (1) bahwa “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen” cukup dimaknai bahwa laporan intelijen itu sebagai bukti pendukung atau “proof evidence” dalam menemukan bukti permulaan yang cukup, bukan sebagai salah satu bukti permulaan. Kemudian “keadaan mendesak” yang diatur didalam pasal 31A merupakan “keadaan mendesak” untuk melakukan penyadapan yang mengacu pada R KUHAP pasal 84 ayat (2), dimana pengaturannya masih belum terlalu luas dan kurang spesifik, sehingga perlu adanya pengaturan yang lebih spesifik dan yuridis mengenai tolak ukur “keadaan mendesak” untuk melakukan penyadapan dalam hal kapan, dimana dan mengapa yang kemudian suatu saat nanti dapat dituangkan kedalam undang-undang penyadapan tersendiri. Kata Kunci : Penyadapan, Bukti Permulaan, Keadaan Mendesak ABSTRACT Terrorism, from bombing in Bali (2002) to bomb attack taking place in Surabaya and Sidoarjo (2018), has had negative impacts on social life, economy, and politics at both national and international level. Measures have been taken by the government, one of which is by issuing Act addressed to facing and eradicating criminal terrorism in Indonesia, starting from Act Number 15 of 2003 concerning Stipulation of Government Regulation in Lieu of Act Number 1 of 2002 concerning Terrorism Eradication, which was then amended to Act of the Republic of Indonesia Number 5 of 2018. The latest Act regulates procedures that should be taken by law enforcers to tackle terrorism through tapping, which is regulated in Article 31 and Article 31A. Article 31 allows tapping initiated by an enquirer when initial evidence is seen adequate, and Article 31A suggests that tapping can be performed in an urgent situation without having to wait for any writ from court. This research seeks to discuss and review the scope of adequate initial evidence, as regulated in Article 31 and what is meant by urgent situation, as regulated in Article 31A of Act of the Republic of Indonesia Number 5 of 2018. This research employed literature review method where primary data was obtained from Criminal Code Procedure, Act Number 5 of 2018 concerning Amendment of Act Number 15 of 2003 concerning Stipulation of Government Regulation in Lieu of Act Number 1 of 2002 concerning Terrorism Eradication and other Acts related with tapping. The secondary law, in addition, was taken from Decision of Constitutional Court Number 21/PUU-XII/2014 concerning adequate initial evidence. Tertiary data, stemming from Bahasa Indonesia Dictionary and Black Law Dictionary, was obtained to support both primary and secondary ones. The results of the analysis reveal that adequate initial evidence as in Article 31 is defined as valid proof as regulated in Article 184 of Criminal Code Procedures in which at least there are two pieces of evidence provided, which involves testimony from witnesses, experts, letters, clues, and any testimonies from defendant according to Decision of Constitutional Court Number 21/PUU-XII/2014. Moreover, “to get adequate initial evidence, the enquirer can gather all reports by intelligence” in Article 26 Paragraph (1) can be understood that the reports by the intelligence only serve as proof evidence or supplementary evidence, not as initial one. “Urgent situation” performed by tapping that refers to Criminal Code Procedures Article 84 Paragraph (2) is considered lack of coverage in terms of its regulation, and it is seen as not specific. Therefore, more specific and juridical regulations regarding benchmark of the term ‘urgent situation’ are still required to perform tapping; the place, time, and the reason of the tapping must be clearly regulated in a special Act concerning Tapping. Keywords: tapping, initial evidence, urgent situation