HAK KEWARISAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH SYAFI’I DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Main Author: Fathullah, Zaki; Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Format: Article eJournal
Bahasa: ind
Terbitan: Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum , 2017
Online Access: http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/2176
Daftar Isi:
  • Zaki Fathullah Email: zakifathullah05@gmail.com Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Zaenul Mahmudi Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Fitri Hidayat Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Abstract The position and status of children can be seen from whether the marriage of both parents is legitimate or illegitimate. With the advent of the Constitutional Court decision No. 46 / PUU-VIII / 2010, there will be significant changes in the family law Indonesia and the status of civil rights of the illegitimate becomes persona in judicio or someone holding a legal stance. This research employed normative juridical method. The approach used in this study was the approach of law (statute approach). The findings of this research show that in the perspective of fiqih Shafi'i, illegitimate children do not inherit the wealth of their biological father and vice versa. A relationship between a father and a child must be based on the existence of a valid marriage between the parents. It is so as a valid marriage has become one of the requirements of the fulfillment of relationship and then will lead to the fulfillment of the rights of inheritance. Meanwhile, in the perspective of a Constitutional Court decision No.46/PUU-VIII/2010, illegoitimate child has a nasab relationship with her/his biological father. Provided, however, it is proven true by science and technology and / or other evidence according to the law. Consequently if proven that the illegitimate child and the father has a nasab relationship, that child has the rights to inheritance of the biological father and vice versa. Keywords: Inheritance Rights, Illegitimate Child, Fiqih Syafi’i, Cosntitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010 Abstrak Kedudukan dan status anak dapat dilihat dari sah atau tidak suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya. Dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentu akan berakibat pada perombakan hukum keluarga di Indonesia secara signifikan dan status hak keperdataan anak luar kawin menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (persona in judicio). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan jenis yuridis normatif. Kemudian pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Dari hasil rangkaian penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam perspektif fiqih Syafi’i anak luar kawin tidak mewarisi harta ayah biologisnya dan begitu juga sebaliknya. Suatu hubungan nasab bagi seorang anak dengan ayahnya harus dilandasi dengan adanya sebab yaitu perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya. Sebab perkawinan yang sah tersebut menjadi salah satu syarat terhadap pemenuhan hubungan nasab dan kemudian akan berujung pada pemenuhan hak kewarisan. Sedangkan dalam perspektif putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Asalkan, memang benar terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Sehingga, jika benar terbukti anak luar kawin dan ayah biologis memiliki hubungan nasab maka anak luar kawin memiliki hak kewarisan terhadap ayah biologisnya dan begitu juga sebaliknya. Kata Kunci: Hak Kewarisan, Anak di Luar Perkawinan, Fiqih Syafi’i, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010