Daftar Isi:
  • Kontroversi pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supandji bermula ketika Jaksa Agung menetapkan Yusril Ihza Mahendra sebagai tersangka kasusdugaan korupsi biaya akses sistem administrasi badan hukum (sisminbakum). Yusril Ihza Mahendra selaku tersangka mengajukan permohonan uji materikepada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 22 ayat (1) huruf d UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI. Menurutnya, pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum atas jabatan Jaksa Agung, sehingga dengan berlakunya pasal tersebut Yusril Ihza Mahendra dirugikan hakkonstitusionalnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar kewenangan Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung serta mengetahui bagaimana implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 49/PUU-VII/2010. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan, pendekatan konseptual, pendekatan kasus, pendekatan historis, dan pendekatan perbandingan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan ini telah membentuk norma baru melalui putusan berjenis konstitusional bersyarat, dengan berdasarkan pertimbangan hakim mengenai sejarah kedudukan Kejaksaan dan konvensi ketatanegaraan yang mengatur masa jabatan Jaksa agung. Putusan ini ternyata tidak membawa akibat hukum terhadap kasus sisminbakum yang dihadapi Yusril Ihza Mahendra dan juga tidak dapat memberhentikan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung sebab putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat berlaku surut. Keberlakuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VII/2010 baru berlaku untuk Pengangkatan Jaksa Agung selanjutnya.