Daftar Isi:
  • Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 masih banyak yang belum/ tidak memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Pasal 1 ayat (10) terkait pengertian kegagalan bangunan, dalam kata 'tidak berfungsinya bangunan' menjadi multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para pihak pelaku jasa konstruksi. Jangka waktu pertanggungjawaban cenderung menguntungkan salah satu pihak sebagaimana pada Pasal 63 dan 65. Pihak penyedia jasa dapat memilih bentuk sanksi antara Pasal 63 dan Pasal 98 akhirnya terjadi inkonsistensi dan kekosongan hukum, sehingga belum berkeadilan. Tujuan penelitian adalah menelaah dan menganalisis pengaturan sanksi hukum dalam kegagalan bangunan di Indonesia; menelaah dan menganalisis kelemahan-kelemahan pengaturan dan penerapannya; kemudian merekonstruksi pengaturan sanksi hukum kegagalan bangunan yang berbasis nilai keadilan. Penelitian ini mengunakan Paradigma Konstruktivisme dengan metode pendekatan mengunakan Yuridis empiris dan kemudian analisis data mengunakan analisis deskritif kualitatif.. Dari hasil penelitian ditemukan pengaturan sanksi hukum dalam kegagalan bangunan yang memunculkan bentuk pertanggunganjawaban yang tidak setara antara pihak Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Penyedia Jasa lebih diuntungkan karena bisa memilih bentuk sanksi hukuman alternatif antara perdata dengan administratif, termasuk hal jangka waktu masa pertanggungan jawab yang hal durasi waktunya memberikan keuntungan bagi Penyedia Jasa. Kelemahan substansi terlihat adanya pasal ataupun ayat yang belum mampu mengedepankan kepastian hukum dan kepatuhan hukum sehingga belum berkeadilan. Kelemahan struktur, pelaksana lembaga baik formil (pemerintah) ataupun non formil dalam penyelenggaraan jasa konstruksi masih belum mampu, kurang menerapkan aturan secara konsisten, tegas dan tertib dalam pengaturan sanksi hukum kegagalan bangunan. Kelemahan kultur hukum dari pemahaman masyarakat dalam menyikapi pelaksanaan kegiatan jasa konstruksi yang hanya sebagai sebuah kegiatan privat yang tidak bisa dicampuri yang mana kegagalan bangunan dianggap sebagai tanggung jawab individu. Kegagalan bangunan pada proyek pemerintah dikenakan Undang-Undang tindak pidana korupsi, bukan Undang Undang jasa konstruksi sehingga asas kemanfaatan menjadi terabaikan karena bangunan yang runtuh/ tidak berfungsi menjadi tidak bisa diperbaiki sampai menunggu proses hukum final dan mengikat. Rekonstruksi hukum yang akan diwujudkan, bahwa pengaturan sanksi hukum terhadap kasus kegagalan bangunan yang dibebankan atas kesalahan penyedia jasa bisa bersifat kumulatif yaitu pengabungan sanksi perdata dan administratif yang berbasis keadilan, dan kemudian menempatkan posisi sanksi hukum para pihak dalam kegagalan bangunan dengan berkesetaraan sesuai hak dan kewajiban yang dimilikinya. Kata Kunci: Kegagalan Bangunan, Sanksi Hukum, Keadilan.