POLITIK PERKAWINAN PADA MASA KOLONIAL: STUDI TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN ANTARA ORANG EROPA DENGAN PRIBUMI DI HINDIA BELANDA 1887-1942
Main Author: | Santika, Melia |
---|---|
Format: | bachelorthesis doc-type Bachelors |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
, 2019
|
Online Access: |
http://repository.unpad.ac.id/frontdoor/index/index/docId/25580 |
Daftar Isi:
- Skripsi ini berjudul “Politik Perkawinan pada Masa Kolonial: Studi Tentang Perkawinan Campuran antara Orang Eropa dengan Pribumi di Hindia Belanda 1887-1942. Tulisan ini membahas mengenai alasan yang melatarbelakangi Pemerintah Hindia Belanda dalam membuat aturan tentang perkawinan campuran, bagaimana perdebatan dalam membuat aturan tersebut, serta permasalahan apa yang muncul setelah praktik perkawinan campuran dilakukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yakni tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep politik seksualitas, di mana pemerintah kolonial mencoba untuk ikut campur dalam mengatur dengan siapa seseorang boleh dan tidak boleh melakukan perkawinan sebagai bagian dari aktivitas seksual. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa alasan utama yang melatarbelakangi adanya peraturan mengenai perkawinan campuran adalah ketakutan terhadap percampuran darah. Anggapan terhadap ras Eropa yang unggul membuat pemerintah kolonial bereaksi untuk membuat sebuah pengaturan agar perkawinan antar-ras tidak terjadi. Perdebatan dalam ranah hukum tidak bisa dihindari karena perkawinan campuran makin marak terjadi. Dilema pun muncul antara benar-benar melarang perkawinan campuran atau memperbolehkannya dengan membuat berbagai pengaturan demi kelanggengan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di tanah koloni. Perkawinan campuran antara perempuan Eropa dengan laki-laki Pribumi menjadi pusat perhatian bagi pemerintah kolonial. Pasalnya, perempuan Eropa yang menikah dengan Pribumi secara otomatis mengikuti hukum pihak suami. Oleh sebab itu, perkawinan campuran ini dianggap sebagai degradasi moral perempuan Eropa karena mereka melakukan perkawinan dengan bangsa yang mereka jajah.