KEDUDUKAN HUKUM PENGAMBILALIHAN TAHAN WAKAF YG BATAL DEMI HUKUM UTK DIBAGIKAN SBG HARTA WARISAN DLM KAJIAN UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DAN INSTRUKSI PRESIDEN NO. 1 TAHUN 1991 TENTANG KHI

Main Author: Nadhil, Abi
Format: bachelorthesis doc-type Bachelors
Bahasa: ind
Terbitan: , 2020
Online Access: http://repository.unpad.ac.id/frontdoor/index/index/docId/2014
Daftar Isi:
  • Tanah merupakan salah satu kebutuhan utama manusia dalam berkehidupan, dengan fungsi sosialnya, dapat diwakafkan atas peruntukan bagi kepentingan umum. Wakaf dalam perspektif fikih didefinisikan sebagai perbuatan hukum menahan benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan bendanya untuk digunakan di jalan kebaikan dan wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Wakaf memang tidak dapat batalkan jika rukun dan syarat sah wakaf telah terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan dan kepastian hukum status tanah wakaf yang batal demi hukum untuk dibagikan sebagai harta warisan ditinjau dari Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu menelaah kaidah-kaidah hukum dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisis yakni dibuat secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh dan sistematis atas penelitian ini. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa benda yang sudah diwakafkan pada dasarnya tidak dapat dibatalkan. Hal itu terdapat dalam pasal 3 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang mengatakan Wakaf yang telah di ikrarkan tidak dapat dibatalkan. Jadi pada dasarnya Akta Ikrar Wakaf tidak dapat dibatalkan kecuali ada sesuatu hal yang dapat membatalkannya, seperti mewakafkan tanah yang tidak dilakukan oleh keseluruhan ahli warisnya atau tidak terpenuhinya syarat sah perwakafan. Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun apabila penyelesaian sengketa tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau Pengadilan Agama. Sedangkan yang terkait dengan perbuatan Hukum Pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.