SANKSI KAWIN PAKSA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NO. 70.A TAHUN 2015 TENTANG DESA BERBUDAYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Daftar Isi:
- Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang bersifat nasional dan berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia. Mengenai syarat dalam perkawinan yang harus dipenuhi salah satunya tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Namun, dalam kenyataannya syarat ini kerap kali tidak dilaksanakan karena adanya paksaan atau desakan baik dari diri calon mempelai maupun pihak luar. Selain itu, syarat yang tidak kalah pentingnya ialah setiap perkawinan yang akan dilangsungkan sudah seharusnya melewati lembaga agamanya masing-masing dan tunduk kepada aturan pernikahan Agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Namun, dalam praktiknya seringkali perkawinan dilangsungkan tidak melewati lembaga agama baik itu Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (KCS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami kedudukan para pihak yang terkena sanksi kawin paksa yang tidak dicatatkan dan akibat hukum administratif terhadap anak yang lahir dari perkawinan paksa yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan spefikasi penelitian deskriptif analitis dalam menjawab permasalahan dalam skripsi ini dengan menitikberatkan pada penelitian kepustakaan dan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua hal yang diperoleh. Pertama, kedudukan para pihak yang terkena sanksi kawin paksa sah secara Agama Islam karena telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang diatur didalam Pasal 14 Kompilasi Hukum islam (KHI). Namun, selama perkawinan paksa tersebut belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), maka negara tidak akan mengakui perkawinan tersebut dan menjadi tidak memiliki kekuatan, kepastian, serta perlindungan hukum menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai akibat dari ketidaktertiban administrasi. Hak dan kewajiban suami isteri yang diatur dalam KUH Perdata, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam dalam perkawinan paksa sama dengan pada perkawinan biasa. Kedua, akibat hukum administratif bagi anak yang lahir dari perkawinan paksa yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama ialah sulitnya mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi dan pelayanan kependudukan, yaitu meliputi pembuatan akta kelahiran untuk anak dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk bagi anaknya kelak.