Daftar Isi:
  • ABSTRAK Diversi adalah proses pada sistem penyelesaian perkara anak, yaitu pengalihan proses penyelesaian terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana menjadi di luar peradilan pidana. Diversi menggunakan pendekatan restorative justice yaitu suatu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan. Tahap penyidikan merupakan tahap awal dilaksanakannya diversi, maka penyidik memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan diversi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan diversi oleh penyidik pada tingkat penyidikan dalam perkara anak yang berkonflik dengan hukum serta untuk mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan upaya pencapaian kesepakatan diversi dalam perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif, dengan menggunakan data sekunder sebagai sumber utama, yaitu penelitian menggunakan kaidah-kaidah, norma-norma, asas-asas dan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis secara yuridis-kualitatif terhadap ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dari hasil analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa penyidik dalam mengupayakan diversi terhadap perkara anak yang berkonflik dengan hukum belum berjalan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam praktik penerapan diversi, penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas dasar pelapor yang mencabut laporannya tanpa terlebih dahulu meminta penetapan dari pengadilan. Selain itu, pemahaman penyidik mengenai dasar pelaksanaan diversi yang dimilikinya yaitu atas dasar kewenangan diskresi kepolisian, padahal setelah berlakunya UU SPPA diversi merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terdapat pula berbagai hambatan dalam penanggulangan dan upaya pencapaian kesepakatan diversi, seperti dari faktor hukum/peraturan perundang-undangan dimana belum adanya peraturan pemerintah pelaksana undang-undang tentang pedoman teknis pelaksanaan diversi. Faktor aparat penegak hukum, yaitu penyidik belum memiliki kemampuan yang merata dalam melakukan pendekatan terhadap kasus anak yang berkonflik dengan hukum serta belum terciptanya koordinasi yang baik antara Kepolisian dan Bapas. Faktor masyarakat yaitu masih sering terjadinya modus operandi pemerasan dalam membuat kesepakatan diversi serta anggapan korban bahwa diversi hanya dimaksudkan untuk membebaskan pelaku dari pemidanaan. Faktor sarana dan prasarana dimana belum adanya ruang pemeriksaan khusus anak sehingga anak yang berkonflik dengan hukum sering kali diperiksa di ruangan yang sama dengan orang dewasa. Seharusnya penerapan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat menjadi salah satu terobosan hukum agar anak-anak sebagai generasi penerus bangsa terhindar dari stigma jahat dan tidak rusak mentalnya dengan adanya pemenjaraan.