Daftar Isi:
  • ABSTRAK Pernikahan adalah suatu tahapan dalam kehidupan manusia, dimana dalam agama bagi seorang hamba yang dipandang telah mampu secara lahir dan batin, dianjurkan untuk melaksanakan tahapan ini, sebagai bentuk ibadah yaitu sunnah Rasul. Adapun permasalahan hukum yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah mengenai tradisi kawin boyong pada masyarakat Gesikan Kabupaten Tuban ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam serta akibat hukumnya. Penulisan hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu melakukan inventarisasi hukum positif yang berkaitan dengan efektifitas peraturan perundang-undangan. Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan dikaitkan peraturan perundang-undangan yang relevan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tradisi kawin boyong pada Masyarakat Gesikan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur, merupakan perkawinan yang sah jika dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan juncto Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) KHI. Tradisi kawin boyong yang dilakukan sekalian ambruk/medok, baru dikatakan sah apabila dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya (Pasal 53 KHI). Sahnya perkawinan pada tradisi kawin boyong, menimbulkan akibat hukum bagi suami dan isteri, dimana berdasarkan Pasal 31 UU Perkawinan, hak dan kewajiban suami seimbang dengan hak dan kewajiban isteri. Untuk sahnya perkawinan wanita yang telah berbadan dua pada kawin boyong yang ambruk/medok, maka berdasarkan Pasal 53 KHI, harus dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, sehingga anak yang dilahirannya nanti, berdasarkan Pasal 99 KHI adalah anak yang sah. Sebaliknya, jika wanita yang telah berbadan dua pada tradisi kawin boyong yang ambruk/medok, dinikahkan dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya, maka perkawinannya menjadi tetap sah jika mengacu pada UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) dan (2) dan memiliki hubungan keperdataan Pasal 42 ayat (1) KHI,dan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan