Daftar Isi:
  • Indonesia adalah negara yang dikaruniai keanerakaragaman etnis dan budaya. Masing-masing hidup dengan Hukum Adat yang mengatur interaksi masyarakatnya. Hukum Adat mencakup berbagai aspek pengaturan kehidupan masyarakat adat mulai dari yang bersifat individual hingga sosial. Sistem kekerabatan yang dianut oleh suatu etnis berkaitan erat dengan Hukum Waris Adat yang berlaku bagi mereka. Suku Makassar merupakan salah satu di Indonesia yang masih memegang hukum adatnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan anak dari pasangan yang melakukan kawin lari (silariang) dalam Hukum Adat Makassar yang menganut sistem parental dikaitkan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung. Penelitian ini menggunakan pendekatan bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalitis fakta-fakta yang secara sistematis, faktual dan akurat dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksana. Yuridis normatif yaitu penelitian mengenai teori, kaidah (norma) dan sistematika hukum, serta bersifat empiris karena studi lapangan juga dilakukan, Penelitian deskriptif digunakan untuk mengumpulkan, merangkum serta menginterpretasikan data-data yang diperoleh, yang selanjutnya diolah kembali sehingga dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan gambaran yang jelas, terarah dan menyeluruh dari masalah yang menjadi objek penelitian. Kedudukan anak dari pasangan yang melakukan kawin lari dalam Masyarakat Adat Makassar memutuskan tali kekerabatan dan hubungan darah dengan anggota keluarganya. Hal ini bertentangan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perkawinan lari adalah sah jika mengikuti aturan-aturan dan syarat-syarat melangsungkan perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 dan 7. Hak waris anak dari pasangan yang melakukan kawin lari (silariang) terhadap harta peninggalan orang tua menurut hukum waris adat Makassar terhapus sejak terputusnya hubungan darah dan tali kekerabatan dengan keluarga dari orang tuanya dikarenakan terjadinya perkawinan lari ( silariang ). Hal ini berbeda dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.