PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KECELAKAAN DI BIDANG PERKERETAAPIAN YANG DIAKIBATKAN OLEH KETIDAKLAIKAN OPERASI SARANA KERETA API DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2007
Daftar Isi:
- ABSTRAK PT. KAI sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian berdasarkan UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian memiliki kewajiban untuk melakukan perawatan terhadap sarana kereta api. Perawatan sarana kereta api erat kaitannya dengan kelaikan operasi sarana perkeretaapian. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan perkeretaapian masih menghadapi banyak masalah sehingga masih banyak kecelakaan kereta api yang terjadi, salah satunya kecelakaan akibat ketidaklaikan operasi sarana perkeretaapian. Tingginya tingkat kecelakaan kereta api tidak dibarengi dengan pertanggungjawaban pidana oleh PT. KAI. Melalui tulisan ini penulis bertujuan untuk mengetahui apakah PT. KAI dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap kecelakaan akibat ketidaklaikan operasi sarana kereta api dan mengetahui faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap PT.KAI selaku penyelenggara sarana perkeretaapian. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan menelaah dan mengkaji bahan-bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan menitiberatkan pada penggunaan bahan hukum sekunder yang didapat dari penelitian kepustakaan di bidang hukum mencakup peraturan-peraturan nasional ditambah referensi lainnya (buku, artikel, berita media massa, sumber dari internet) yang berkaitan dengan objek penelitian. Selain penelitian kepustakaan, penulis juga melakukan penelitian lapangan dengan meminta data serta melakukan wawancara ke PT. KAI terkait hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Kemudian, penulis mengolah hasil penelitian kepustakaan dengan hasil penelitian lapangan untuk mengetahui apakah ada kesesuaian atau tidak. Hasil penelitian diperoleh bahwa PT. KAI sebagai korporasi secara mandiri dan juga sebagai penyelenggara operasi sarana perkeretaapian tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terkait kecelakaan akibat ketidaklaikan operasi sarana perkeretaapian. Hal ini dikarenakan dalam Penjelasan Pasal 189 yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah pengurus dari PT KAI, bukan PT KAI sebagai korporasi mandiri. Selain itu digunakannya jenis sanksi kumulatif antara pidana penjara dan denda menutup kemungkinan untuk memidanakan PT. KAI. Adapun faktor penghambat penegakan hukum pelaksaan pertanggungjawaban pidana PT. KAI mencakup belum spesifiknya UU Perkeretaapian dalam mengatur kapan PT. KAI dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, siapa (pejabat struktural) yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, dan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi apa yang dianut dalam UU Perkeretaapian serta digunakannya jenis sanksi pidana kumulatif, belum jelasnya keberadaan PPNS di bidang perkeretaapian sebagai penyidik serta kekurangpahaman dari pihak kepolisian tentang tindak pidana perkeretaapian sebagaimana diatur dalam UU Perkeretaapian, tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah terkait hak-hak yang dapat mereka tuntut dalam hal menderita kerugian akibat kecelakaan kereta api serta cara berpikir masyarakat yang tidak berkeinginan untuk menuntut pihak PT. KAI karena proses hukum yang menelan waktu yang lama dan biaya yang banyak.