Daftar Isi:
  • TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN NEGARA INDONESIA BERDASARKAN KUHAP DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG No. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum Oleh : Irwansyah 110111060678 Program Kekhususan : Hukum Pidana Pembimbing : Aman Sembiring Meliala, S.H.,M.H. H. Agus Takariawan, S.H., M.H. ABSTRAK Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi menurut hukum positif di Indonesia dapat dilakukan oleh institusi POLRI maupun institusi KPK. Kewenangan yang sama tersebut dalam praktinya dapat menyebabkan konflik mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dapat menyebabkan adanya pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. Oleh karena itu terdapat dua masalah yaitu: (1) Bagaimana kewenangan penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan Polri dikaitkan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK? (2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap tersangka kasus tindak pidana korupsi yang diajukan proses penyidikan oleh Polri dan KPK?. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh POLRI dibatasi oleh Undang-Undang KPK, tetapi POLRI masih memiliki kewenangan penyidikan yang berpedoman kepada KUHAP. (2) Penyidikan yang dilakukan oleh POLRI dan KPK sangat rentan terhadap pelanggaran HAM. Sehingga bentuk perlindungan hukum terhadap hak –hak tersangka yaitu dengan mengajukan rehabilitasi dan kompensasi akibat kerugian dari penyidikan yang dilakukan oleh dua Institusi. ABSTRACT Research and investigation process of corruption criminal act in positive law in indonesia may be made by either Indonesian police institution or Corruption Removal Commission institution. In practice, the same authorithies maybe resulting in conflict of research and investigation authorities and therefore causing violation of the suspect rights. There are two problems: (1) how investigation authority in corruption act case by Indonesian Police in relationto Law No. 30 of 2002 on Corruption Removal Commission? (2) how legal protection of the suspect in corruption act case proposed by indonesia Police and Corruption Removal Commission in the investigation process. The result of the research are as follows : (1) investigation authority the Indonesian Police have is restricted by corruption removal Commision Law, even though indonesian police have is stilll having investigation authority holding on criminal code. (2) Investigations by Indonesian Police and Corruption Removal Commission are practiculary susceptible to violation pf Human Rights, so type of legal protection of the suspect right is proposing rehabillitation and compensation for loss of investigation by both institutions. A. Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 membawa dampak yang signifikan terhadap sistem hukum di Indonesia, yaitu dengan di rumuskannya konsep negara hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Prinsip negara hukum ini menempatkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) sebagai salah satu institusi yang mempunyai peranan penting dalam proses penegakkan hukum selain Kejaksaan dan Kehakiman. Peranan Polri tersebut selanjutnya diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU POLRI). Pasal 2 UU POLRI memberikan fungsi POLRI yaitu, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan dalam hal penegakkan hukum menempatkan POLRI sebagai instusi yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, POLRI dipimpin oleh KAPOLRI sebagai penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Prinsip kewenangan dalam menjalankan kekuasaan negara khususnya dibidang penyelidikan dan penyidikan, sesuai dengan hak negara untuk memberikan penderitaan atau nestapa yang berupa sanksi kepada warga negara yang melakukan tindak pidana menurut ketentuan undang-undang, dimana hal tersebut sesuai dengan pengertian mengenai pidana. Sedangkan hukum pidana sendiri merupakan hukum publik karena mengatur hubungan hukum antara negara dengan individu atau kelompok. Sehingga peranan POLRI dalam hal ini adalah sebagai perwakilan negara untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada seseorang yang disangka melakukan tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang. Kewenangan POLRI dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana tersebut juga dipertegas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam melaksanakan tugas dibidang penyelidikan dan penyidikan, POLRI harus bersikap professional, mempunyai integritas, dan independen yang tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pihak lain meskipun kedudukan POLRI dibawah lembaga eksekutif. Peranan POLRI menjadi sangat penting dalam proses peradilan pidana, karena proses penyelidikan dan penyidikan merupakan awal dari rangkaian peradilan pidana untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengenai apakah benar telah terjadi peristiwa pidana. Penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu harus mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat bukti-alat bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hukum atau peraturan hukum pidana yaitu tentang hakikat peristiwa pidana yang kemudian guna menemukan tersangka. . B. Permasalahan Hukum 1. Bagaimana kewenangan penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan Polri dikaitkan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap tersangka kasus tindak pidana korupsi yang diajukan proses penyidikan oleh Polri dan KPK? Hasil dan Pembahasan I. Kewenangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan POLRI dikaitkan dengan Undang-Undang KPK Dengan adanya tugas dan wewenang KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di atas, maka tugas dan wewenang yang dimiliki POLRI untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan menjadi terbatas. Hal tersebut dikarenakan KPK merupakan institusi yang secara khusus dan spesifik dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU KPK memberikan batasan kepada POLRI dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu dengan memberikan kesempatan kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh POLRI. Dalam hal pengambil alihan tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 9 UU KPK. Sehingga dapat disimpulkan bahwa KPK mempunyai wewenang yang luas dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh KPK tersebut menimbulkan banyak permasalahan dalam praktiknya terutama dalam hal penindakan terhadap dugaan tindak pidana korupsi. Salah satu permasalahan tersebut adalah adanya tumpang tindih kewenangan yang dimiliki oleh KPK dan penegak hukum lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sebelum adanya lembaga KPK, kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dilakukan oleh POLRI dan Kejaksaan RI sedangkan kewenangan melakukan penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan RI. Tetapi setelah terbentuknya KPK, kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan secara bersamaan juga diberikan kepada KPK. Sehingga pada praktinya proses penegakkan hukum dalam hal penyelidikan dan penyidikan perkara tindak pidana korupsi terdapat dua lembaga yang mempunyai kewenangan yang sama. Sehingga akan terjadi dualisme penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang akan berdampak adanya tumpang tindih kewenangan antara KPK dan POLRI. II. Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Diajukan Proses Penyidikan Oleh POLRI dan KPK Ketentuan KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang manusia dalam kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan seorang manusia dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak asasi manusia (HAM) seorang tersangka tidak boleh diabaikan atau dilanggar Hak-hak tersangka yang terdapat dalam ketentuan tersebut merupakan hak-hak asasi manusia yang merupakan amanat dari UUD 1945. Sehingga hak-hak tersangka tersebut merupakan hak dasar yang melekat bagi siapapun yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Hak-hak dari tersangka tersebut harus dihormati dan dilaksanakan oleh penyidik dalam melakukan tindakan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hak-hak dari tersangka tersebut juga harus dilindungi dan dilaksanakan oleh KPK, karena KPK juga berpedoman pada KUHAP dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi kecuali ditentukan lain dalam UU KPK. Kesimpulan dan Saran. A. Simpulan 1. Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh POLRI dibatasi setelah berlakunya UU KPK. Hal tersebut dikarenakan KPK merupakan institusi khusus dan spesifik dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pembatasan tersebut terlihat dari ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) UU KPK yang memberikan wewenang kepada KPK untuk mengambil alih proses penyidikan yang dilakukan oleh POLRI dengan persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 9 UU KPK. Atas dasar hal tersebut, maka dapat menyebabkan adanya penyidikan satu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik POLRI dan penyidik KPK yang saling melakukan supervisi, sehingga dapat terjadi tumpang tindih kewenangan melakukan penyidikan. Oleh karena Pasal 50 UU KPK tidak memberikan kepastian hukum mengenai tumpang tindih kewenangan penyidikan, maka pada praktinya terjadi perselisihan antara KPK dan POLRI dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Perselisihan antara KPK dan POLRI dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak asasi tersangka. 2. Penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh POLRI dan KPK sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak tersangka yang telah diatur dalam KUHAP. Sehingga seharusnya ada perlindungan hukum terhadap hak tersangka pada proses penyidikan yang harus dilaksanakan oleh penegak hukum. B. Saran 1. Pada praktiknya penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK dan POLRI secara terpisah akan sangat rentan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka. Sehingga seharusnya DPR merevisi UU KPK yang berkaitan dengan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh KPK harus dibatasi hanya dalam hal pengambilalihan penyidikan yang dilakukan oleh POLRI saja. KPK tidak dapat memulai untuk melakukan penyidikan, dan hanya dapat melakukan penyidikan apabila POLRI dalam melakukan penyidikan memenuhi persyaratan yang dirumuskan dalam Pasal 9 UU KPK. 2. Oleh karena hak-hak tersangka terlanggar akibat dari adanya konflik penyidikan antara POLRI dan KPK. Sehingga sebagai bentuk jaminan perlindungan hukum terhadap hak tersangka, maka tersangka dapat mengajukan gugatan ganti kerugian dan/atau kompensasi akibat kerugian dari pelanggaran hak-hak tersebut. Daftar Pustaka Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, BP Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana). Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008. E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000. Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006), Sinar Grafika, Jakarta, 2012.