ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUUXVI/2018 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANGNOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD DAN DPRD. (KAJIAN PASAL 122 HURUF I)

Main Author: Alam, Samsul
Format: Naskah Publikasi NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2019
Subjects:
Online Access: http://eprints.uad.ac.id/15295/1/T1_1400024129_NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
http://eprints.uad.ac.id/15295/
Daftar Isi:
  • Persoalan mengambil langkah hukum yang diberikan kepada MKD merupakan kesalahan dalam bernegara, karena MKD merupakan alat kelengkapan DPR yang bertugas menegakkan dan mengawasi kode etik anggota DPR demi menjaga kehormatan dan marwah DPR. Namun dalam hal MKD diberikan wewenang untuk mengambil langkah hukum kepada setiap orang, kewenangan MKD diperluas kepada pihak eksternal DPR, dan menyalahi wewenang MKD sebagai lembaga kode etik. Adapun tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui dasar argumentasi Hakim Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan Pasal 122 Huruf I UU MD3 dan Untuk mengetahui argument Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan Pasal 122 Huruf I UU MD3 sudah sesuai dengan negara hukum dan demokrasi. Sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data dilakukan dengan dokumen/pustaka dan observasi atau pengamatan. Keseluruhan data dianalisis dengan analisis kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dan telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Mahkamah dalam Putusan MK No. 16/PUU-XVI/2018 berpendapat : a. Mengambil langkah hukum yang diatur dalam Pasal 122 huruf I UU MD3, bukanlah tugas dan wewenang dari MKD, karena MKD merupakan alat kelengkapan DPR yang bertugas sebagai penegak etik DPR, 2. Dalam membatalkan penambahan kewenangan MKD yang diatur dalam Pasal 122 huruf I UU MD3, argumentasi mahkamah sudah sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, bisa kita lihat sebagai berikut : a. Mahkamah membatalkan Pasal 122 huruf I karena DPR mencoba mengambil wewenang penegak hukum, yang itu tidak sesuai dengan konsep negara hukum dimana adanya pembagian kekuasaan dan wewenang. b. Pasal 122 huruf I bertentangan dengan prinsip demokrasi, dimana kebebasan dalam berespresi baik secara lisan dan tulisan.