Daftar Isi:
  • Latar Belakang: Pada tahun 2006, pria yang disirkumsisi terbukti jarang tertular infeksi melalui hubungan seksual dibaning yang tidak disirkumsisi. Sirkumsisi juga bisa mengurangi tingkat infeksi HIV, sipilis, dan borok pada alat kelamin. Di Kenya, pria yang dikhitan berkurang resiko terjangkit HIV hingga 53%, di Uganda 48% sedangkan di Afrika Selatan terjadi pengurangan sampai 60%. Sirkumsisi dapat dilakukan dengan cara memotong preputium (kulub) dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Resiko yang dihadapi dari sirkumsisi secara umum rendah, namun dapat berakibat serius bila dilakukandi tempat yang tidak higienis dan dilakukan oleh penyedia layanan yang tidak ahli, atau dengan peralatan yang tidak memadai. Tujuan: Mengetahui perbedaan rata-rata tingkat penyembuhan pada pasien post sirkumsisi dengan menggunakan couterisasi dan menggunakan metode konvensional. Metode: Desain penelitian ini adalah quasi eksperimentaldengan menggunakan kelompok kontrol tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya. Peneliti melakukan intervensi sebagian dari sampel yang ada dengan bahan A dan sebagian sampel dengan bahan B. Penelitian dilakukan pada 15-31 Juli 2009. Hasil: Penelitian pada 32 responden ini menunjukkan tingkat penyembuhan luka pada pasien sirkumsisi dengan etode konvensional, rata-rata berada pada ketegori cukup baik yaitu sebanyak 80%, sedangkan pada pasien sirkumsisi yang dilakukan dengan metode couterisasi, rata-rata berada pada kategori cukup baik yaitu sebanyak 73,33%. Analisis menggunakan t-test didapatkan t-hitung adalah 0,418 dengan probabilitas 0,679. Oleh karena probabilitas >0,05, maka Ho diterima. Simpulan: Tidak terdapat perbedaan tingkat penyembuhan lukayang signifikan pada pasien sirkumsisi dengan menggunakan metode konvensional maupun menggunakan metode couterisasi.