Summary: |
Puisi tidak Cuma bisa lahir dari suatu situasi pribadi, suatu keadaan soliter di mana penyair seakan-akan sendirian berhadapan dengan dunia. Saat merasakan angin berhembus, melihat daun-daun gigur, gerimis yang jatuh tanpa suara, hujan yang menderu-deru, atau kerawanan di ambangsenja, seorang penyair mengaktifkan seluruh indranya untuk menangkap momentum yang kemudian diolah dan dipresentasikan lewat Bahasa yang disusun sedemikina rupa menjadi bentuk puisi. "Musim retak" menampilkan gambaran dunia yang kacau, tetapi bukan sejenis kekacauan surealistik yang adikodrati, melainkan kekacauan yang disebabkan oleh benturan-benturan dalam suatu persabungan antara pelbagai realitas. Fitur-fitur seperti badai, perang, puing-puing, perpacuan, runtuh, gawat, seperti indeks yang berada satu kolom dengan nasib, takdir, rahasia, waktu, dan tuhan. Pelbagai macam realitas tersebut bersabung, berpacuan, seakan hendak berebut momen untik hadir dan dihidupkan. Secara garis besar, ketaksaan puisi-puisi Iyut, seakan memantik kita untuk mengalami momen-momen soliter, tanpa menghilangkan sikap solider.
|