Summary: |
Di dunia Barat ungkapan ini mencerminkan keadaan yang sebenarnya tetapi di dunia Islam tidak demikian. Di Indonesia misalnya, peningkatan tingkat kesejahteraan hasil capaian pemerintah Orde Baru telah mendorong kaum Muslim perkotaan untuk mengikuti pengajian-pengajian sufisme. Kemunculan buku-buku terjemahan tasawuf karya para ulama terdahulu maupun kontemporer semakin melicinkan jalannya pengajian-pengajian spiritualisme (sufisme) kelas menengah perkotaan. Namun, maraknya majlis-majlis pengajian spiritualisme ini sama sekali tidak tercerabut dari akar organized religionnya, Islam. Fenomena ini nampaknya lebih tepat dikatakan sebagai bangkitnya sufisme modern yang lebih menekankan pada aspek pendalaman tauhid serta membersihkannya dari aspek-aspek syirk dan pengamalan virtue ethics yang bersumber dari al-Qur?an maupun Sunnah Nabi. Ini yang nampak terbaca dari gagasan Prof Hamka dengan tasawuf modernnya. Jadi, meskipun penyebabnya sama seperti yang terjadi di Barat, respon yang muncul adalah sufisme perkotaan yang masih lekat dengan induk agamanya. Geliat bangkitnya kesadaran untuk ber-sufi di kalangan Muslim perkotaan ini tidak selamanya melahirkan sufisme model baru. Maraknya majlis-majlis dzikir yang diprakarsai oleh kelompok tariqah juga ikut serta mewarnai perkembangan spiritualisme Muslim perkotaan. Majlis dzikr yang diorganisir oleh Alkhidmah misalnya, pengikutnya banyak dari kalangan Muslim perkotaan dengan profesi yang beragam, dari mulai artis, pengusaha hingga para birokrat. Dibawah bimbingan Mursyid KH. Asrori al-Ishaqi dari Kedinding Surabaya, tariqah Qadiriyah ini begitu pesat berkembang di kalangan masyarakat Perkotaan.
|