Summary: |
Ilmu keislaman cukup luas, bukan hanya mencakup ?ayat-ayat qauliyah?, tetapi juga "ayat-ayat kauniyah?, bukan hanya yang fisik dan matematik, tetapi juga yang metafisik, bukan hanya pada tataran duniawi, tetapi juga ukhrawi. Terhadap ilmu keislaman yang dipahami dan dibangun bersumber pada "ayat- ayat qauliyah" (nash atau teks al-Qur'an ataupun hadis), maka penggunaan "metode transformatif" sebagai langkah awal merupakan sesuatu yang niscaya, jika tidak maka pesan-pesan nash tidak dapat dipahami secara utuh dan boleh jadi konstruksi keilmuan sebagai "produk" atau hasil anyaman metodologis- epistemologis akan bergeser dari "maqasidsyar'iyyah?. Selain perlu pula dikuatkan dengan "metode tajribi" (ujicoba emperik). Persoalan juga akan muncul berkaitan dengan hal-hal yang metafisik, azab kubur, surga dan neraka. Sebab, bagaimanapun juga perkara ini tidak sepenuhnya dapat diketahui manusia dengan kekuatan akal dan uji empiris (burhani), tanpa membuka informasi dari wahyu yang kemudian di hampiri melalui epistemologi bayani dan irfani. Bahkan, dalam hal tertentu, terkadang ketiga epistemologi tadi tidak mampu mengungkapnya. Nah, ketika ketiga epistemologi itu sudah "mentok", maka tampaknya perlu dihampiri dengan "epistemologi imani". Epistemologi imani yang dimaksudkan di sini ialah suatu sikap mental yang membenarkan dan menerima sesuatu baik dengan hati, bahasa maupun perilaku, tanpa melalui pembuktian apapun. Dasar dari "epistemologi imani" (kalau boleh disebut demikian) adalah ayat-ayat Alquran yang mengajak, mendorong, dan memerintahkan manusia untuk "beriman" (amanu) tanpa melalui pembuktian apapun. Begitu pula, didasarkan pada hadis Nabi saw. yang menjelaskan tentang perintah berpikir tentang ciptaan Allah dan pelarangan berpikir tentang Zat Allah. Ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu, begitu juga sebaliknya. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal. Maka ilmu dalam Islam memiliki sumber yang lengkap apalagi ketika dibandingkan dengan sains Barat. Diskursus tentang hubungan antara (slam dan ilmu modern sudah beriangsung cukup lama, bahkan sudah berumur lebih dari satu abad jika saja hal itu dihitung sejak Ernest Renan mengangkat polemik tentang wahyu dan akal pada 1883. Puncak perbincangan mengenai hal tersebut akhirnya sampai pada pemikiran Isma'il Raji Al-Faruqi yakni "Islamisasi Pengetahuan". Pada dasarnya hal tersebut berintikan sebagai upaya untuk mengembalikan pengetahuan kepada asal-muasalnya, yakni kepada agama, kepada keimanan, dan lebih khusus lagi kepada tauhid.
|