Perencanaan Pembangunan Kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi terhadap Perencanaan Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Kotagede sebagai Model Pelestarian Cagar Budaya Berbasis Pemberdayaan Masy

Main Author: Suryanti, Eko
Format: Thesis NonPeerReviewed
Terbitan: , 2014
Subjects:
Online Access: http://repository.ub.ac.id/157213/
Daftar Isi:
  • Penelitian ini berlatar belakang terancamnya sumber daya kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta oleh karena perubahan sosial budaya sebagai dampak dari modernisasi, globalisasi, industrialisasi/kapitalisasi, urbanisasi. Gejala-gejala tersebut telah melemahkan ketahanan budaya masyarakat Yogyakarta dan memarginalkan sejumlah aset budaya yang adiluhung sehingga patologi dalam pembangunan kebudayaan menjadi lebih parah. Etika dan moral akuntabilitas dunia internasional mengamanatkan untuk melakukan pelestarian dan penyelamatan terhadap kota-kota bersejarah. Salah satu cara untuk melestarikan aset-aset budaya di kota bersejarah adalah dengan pembangunan berstrategi kebudayaan yang diawali dengan sebuah perencanaan komprehensif yang mana menjamin keseimbangan antara pembangunan multi sektoral khususnya fisik dengan pelestarian, karena acapkali terjadi konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang antara keduanya. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses perencanaan pembangunan kebudayaan di DIY khususnya dalam pengelolaan kawasan cagar budaya Kotagede?; Aspek-aspek apa sajakah yang diakomodir dalam dokumen perencanaan pembangunan kebudayaan di DIY khususnya dalam pengelolaan kawasan cagar budaya Kotagede?; Bagaimanakah model pelestarian cagar budaya berbasis pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan di Kotagede?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif yang mendeskripsikan dan menganalisis proses perencanaan pembangunan kebudayaan di DIY khususnya berkaitan pengelolaan kawasan cagar budaya Kotagede sebagai model pelestarian cagar budaya berbasis pemberdayaan masyarakat. Langkah-langkah Miles dan Huberman dalam metode analisis memudahkan penelitian ini. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa proses perencanaan pembangunan kebudayaan di DIY merupakan perpaduan pendekatan politis, teknokratis, partisipatif, top down dan bottom up . Garis-garis kebijakan Kepala daerah sendiri menentukan bahwa kebudayaan merupakan mainstream dan payung dalam pembangunan di segala bidang, sehingga setiap sektor pembangunan harus dijiwai nilai-nilai kebudayaan. Visi DIY ke depan akan mewujudkan DIY sebagai pusat kebudayaan terkemuka dilandasi dengan filosofi Hamemayu Hayuning Bawono. Semua SKPD yang dikoordinatori oleh BAPPEDA DIY berupaya menciptakan perencanaan yang mendukung ke arah pencapaian visi tersebut, terlebih dengan pengakuan pusat secara de facto dan de jure mengenai keistimewaan DIY, maka urusan kebudayaan menjadi kian strategis. Proses perencanaan tersebut telah menghasilkan dokumen-dokumen perencanaan baik yang sifatnya umum yaitu seperti RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra, Renja yang mengakomodir pembangunan kebudayaan dan terintegratif dalam perencanaan pembangunan daerah; perencanaan pembangunan kebudayaan yang luas seperti Rencana Aksi Pemantapan DIY sebagai Pusat Kebudayaan Terkemuka, Grand Strategi Pemantapan Ketahanan Budaya DIY; perencanaan khusus Kotagede seperti Rencana Induk Terpadu Revitalisasi Kawasan Kotagede; Rencana Aksi Pengelolaan Terpadu Kawasan Cagar Budaya Kotagede; Rencana Penataan Pemukiman; Rencana Tindak Pengelolaan dan Pelestarian Kawasan Kotagede; DED Kotagede; Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kotagede. Perencanaan pembangunan kebudayaan di DIY khususnya dalam pengelolaan Kawasan cagar budaya Kotagede didukung oleh regulasi pelestarian budaya khususnya tentang cagar budaya yang sifatnya internasional (UNESCO, ICOMOS), nasional (Pancasila, UUD 45, UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya; UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY; UU No 25 Tahun 2004 tentang SPPN dan turunannya); lokal (Perda No 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Perda No 1 Tahun 2012 tentang RIPPDA, Pergub 55 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Cagar Budaya, Perda No 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta, Perdais No 1 Tahun 2013 tentang Keistimewaan DIY, Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY, dan lainnya). Selain regulasi pelestarian juga didukung regulasi perencanaan pembangunan nasional maupun daerah seperti RPJPN, RPJMN, RKP, Renstra Kemendikbud, RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra Dinas Kebudayaan, Renja, dan lainnya. Para pelaku dalam perencanaan pembangunan kebudayaan di DIY khususnya perencanaan pengelolaan Kotagede sangatlah unik karena melibatkan banyak SKPD baik pemerintah pusat, provinsi, Kota Yogyakarta, maupun Kabupaten Bantul; pemerintahan negara lain seperti Jepang dan Belanda; lembaga non pemerintah seperti JHS, JRF, CHC, BPPI, World Bank, ICOMOS, JICA, serta masyarakat sendiri yang diwakili oleh Forum Joglo, OPKP, Yayasan Kanthil, Living Museum, Pusdok. Perencanaan Kotagede bersifat komprehensif karena memandang pelestarian cagar budaya dilihat juga dilihat dari sisi tata bangunan dan lingkungan, kesenian, industri, pariwisata, infrastruktur. Masyarakat melalui pendampingan dari JRF, World Bank, JICA melakukan perencanaan pembangunan kawasannya termasuk di dalamnya pendataan dan pemetaan potensi kewilayahannya. Tantangan dan permasalahan yang terjadi adalah keberlanjutan dari suatu proses perencanaan dengan kebijakan-kebijakan baru yang justru akan mengakibatkan pengulangan proses seperti awal karena tidak diimbangi kapasitas manajemen dan kapasitas SDM. Model pendampingan JRF telah berhasil memberdayakan masyarakat dalam perencanaan pelestarian cagar budaya melalui Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Rapid Rural Appraisal (RRA) sehingga menjadi lebih melek perencanaan, hingga akhirnya setelah tidak didampingi dapat menindaklanjuti proses yang sudah terjadi.