Studi pemikiran Abu al-A’la al-Maududi tentang hak-hak politik non muslim dalam Islam

Main Author: Dari, Inty Wulan
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: eng
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/9174/1/1402026044.pdf
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/9174/
Daftar Isi:
  • Hak-hak politik yang telah ditetapkan dalam Islam untuk non Muslim di negara Islam merupakan salah satu tema terpenting dalam ruang lingkup yang diistilahkan oleh para fuqaha dengan politik keagamaan. Penetapan hak-hak non Muslim dalam Islam, baik yang bersifat politik dan nonpolitik, merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari penetapan Islam bagi prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan persamaan hak setiap individu daulah Islamiyyah di hadapan undang-undang. Dalam hal ini dibutuhkan pemikiran Maududi merupakan pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan dasar konstitusi negara. sebagaimana pendapatnya mengenai hak politik non Muslim yaitu “...It is thus obvious that those who do not accept the ideology of Islam as their guiding light cannot become the Head of the Islamic State or the members of the Shura (Council)”. “...Dengan demikian, jelaslah bahwa siapapun yang tidak mengakui ideologi Islam sebagai pedomannya, tidak akan dapat menjadi Kepala Negara Islam maupun anggota Majelis Permusyawaratan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Perpustakaan, data dan informasi dikumpulkan dengan bantuan-bantuan bermacam-macam material yang terdapat diruangan perpustakaan. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sumber data pokok dalam penelitian skripsi ini adalah buku The Islamic Law and Constitution karangan Abu al-A’la al-Maududi. Adapun hasil penelitiannya yaitu Pemikiran Abu al-A’la al-Maududi tentang hak-hak politik non Muslim merujuk kepada al-Quran dan historis. Menurut al-Maududi, siapapun yang tidak mengakui Islam sebagai pedomannya, tidak akan dapat menjadi kepala negara Islam maupun anggota Majelis Permusyawaratan. Tetapi untuk parlemen maupun lembaga legislatif dengan konsepsi modern, yang sangat berbeda dari syura dalam pengertian tradisionalnya, aturan ini dapat diperlonggar untuk memperkenankan seorang non Muslim menjadi anggotanya sepanjang di dalam konstitusi sepenuhnya ada jaminan dan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan. Pemikiran Maududi tentang non Muslim tidak dapat menjadi kepala negara memiliki keterkaitan dengan realita di Indonesia yaitu kondisi mayoritas penduduknya Indonesia yang beragama Islam tidak bisa menerima pemimpin non Muslim dapat dilihat dari peristiwa pengalaman tahun 1988 dan pengalaman tahun 2016 yang dikenal dengan Aksi Bela Islam walaupun UUD RI tidak melarang non Muslim menjadi kepala negara.